Adsense

Kamis, 17 Oktober 2013

Ahli Waris Pengganti dalam KHI



A. Latar belakang Ahli Waris Pengganti
Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kesepakatan para Ulama dan Perguruan Tinggi berdasarkan Inpres No. 1/1991 yang isinya berupa perintah kepada Menteri Agama untuk menyebar luaskan KHI, bukan instruksi supaya dijadikan sebagai hukum terapan bagi Pengadilan Agama, sedangkan Prof. Bustanul Arifin mempertahankan mati-matian sebagai hukum terapan bagi Pengadilan Agama dan nyatanya tetap berlaku sampai sekarang.
Setelah 20 tahun KHI diterapkan sebagai hukum materiil bagi Pengadilan Agama, ternyata masih saja ada yang mempersoalkan legitimasi KHI. Diantaranya Dr. Habiburrahman dengan alasan bahwa KHI illegal karena khususnya bab hukum waris mestinya menurut SK seharusnya ditangani Wasit Aulawi dan KH. Azhar Basyir, ternyata mereka berdua tidak tahu menahu dan secara tiba-tiba muncullah Buku II Tentang Hukum Kewarisan terutama pasal Pasal 185 KHI tentang ahli waris pengganti yang didalamnya banyak terdapat pemikiran-pemikiran Prof. Hazairin yang pola pikirnya lebih dekat kepada pemikiran orientalis dari pada seorang muslim.
B. Pendapat Ahli Hukum Tentang Ahli Waris Pengganti
Berikut ini kutipkan pendapat yang terjadi pada Rakernas Mahkamah Agung di Palembang :
Diskusi hangat itu diawali oleh gagasan Hakim Agung Habiburahman yang menggugat ketentuan ahli waris pengganti yang nota bene selalu dilekatkan kepada Hazairin sebagai penggagas teori kewarisan bilateral yang kemudian diadopsi dalam sistem hukum Islam Indonesia.
Dari pantauan badilag.net, wacana menggugat ketentuan ahli waris pengganti tersebut pernah digulirkan oleh Habiburrahman pada Rakernas 2009 di Palembang tahun lalu. “Saya melihat Hazairin sebagai anak hukum adat yang menginduk kepada Van Vollenhoven dan Snouck Hourgronje. Di bukunya, Hazairin mengaku sebagai mujtahid tetapi tulisan-tulisannya tidak mencerminkan layaknya mujtahid,” kata Habiburrahman mengungkapkan latar belakang idenya.
Kontan saja gagasan tersebut menuai respon beragam. Mukhsin Asyrof, Ketua Pengadilan Tinggi Agama  Palembang, menyebut ketentuan ahli waris pengganti memang tidak diatur dalam fikih, sama halnya dengan beberapa ketentuan lainnya seperti wasiat wajibah. “Saya kira ketentuan ahli waris pengganti ini dimaksudkan untuk memberikan keadilan kepada para ahli waris. Kenapa kita tidak mengkaji pemahaman Hazairin dan temukan kelemahan dan mungkin kesalahan dari teorinya ketimbang mengkritisi kehidupan pribadinya,” tanya Mukhsin Asyrof.
Drs. Chatib Rasyid, Ketua Pengadilan Tinggi Agama Semarang berbeda lagi. “Di tingkat lapangan, masalah ahli waris pengganti ini memang menjadi melebar kemana-mana. Di Makasar, ada isteri menjadi ahli waris pengganti. Saya mengusulkan Tuada Uldilag untuk membuat surat edaran yang menentukan batasan siapa saja yang berhak/bisa menjadi ahli waris pengganti,” katanya.
Ada juga yang mempertanyakan apakah ketentuan ahli waris pengganti ini merupakan penemuan hukum ataukah penciptaan hukum. Dari hal inilah akar masalah bisa ditelusuri. Demikian kata Abd. Halim Syahran, Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Pontianak.
Dra. Hj. Husnaini., Wakil Ketua Pengadilan Tinggi Agama Padang yang merupakan satu-satunya peserta wanita di komisi II sepakat dengan pendapat Mukhsin Asraf.  “Ketika mengkritisi pemikiran sesorang hendaknya kita melakukan ‘jarh wa ta’dil.  ,” katanya.
Ketua Pengadilan Tinggi Agama Makasar, Muhummad Hasan H. Muhammad, mengajak kembali ke sejarah disahkannya pasal ahli waris pengganti tersebut di Kompilasi Hukum Islam. “KH. Azhar Basyir yang memimpin rapat penyusunan KHI tersebut dan pasal ahli waris pengganti ini disahkan melalui kesepakatan para ulama,” tuturnya.
Menjawab pertanyaan atas gagasannya, Habiburrahman kembali menekankan bahwa ketika kita menerima pemikiran seseorang kita juga harus tahu kehidupan pribadinya, prinsip-prinsip yang dianutnya dan latar belakang pemikirannya. “Gagasan saya itu salah satunya dilatar belakangi disertasi mantan Wakil Ketua Mahkamah Agung, Dr. Syamsu Hadi Irsyad, yang banyak membahas pejalanan Snouck Hourgronje yang pergi ke Mekkah, pura-pura masuk Islam, berganti nama dengan nama Islam dan mempelajari hukum Islam. Dia kembali ke Indonesia, memperkenalkan hukum adat dan menciptakan teori-teori yang menjauhkan pemeluk Islam dari agamanya,” ungkap Habiburrahman. “Akan tetapi saya menerima semua kritikan dari para peserta. Saya mohon maaf jika ada kesalahan dalam gagasan saya ini,” tutur Habiburrahman merendah setelah menjawab semua pertanyaan peserta.
Ketua Kelompok Kerja (Pokja) Perdata Agama, Prof. Abdul Manan, tetap menyetujui ketentuan pasal 185 KHI, namun memang perlu diberikan pembatasan agar dalam prakteknya tidak melebar terlalu jauh.
Hakim Agung lainnya, Prof. Rifyal Ka’bah, tidak terlalu jauh mempertanyakan ide perubahan ketentuan ahli waris pengganti. Beliau lebih menekankan bahwa pintu tajdid (pembaruan) harus selalu dibuka.
C. Ahli Waris Pengganti
Salah satu konsep pembaharuan Hukum Kewarisan Islam Indonesia dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah diberikannya hak seorang ahli waris yang telah meninggal dunia kepada keturunannya yang masih hidup. Aturan ini tercantum dalam Pasal 185 KHI yang bunyi lengkapnya adalah sebagai berikut:
  1. Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu dari pada si pewaris, maka  kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173.

  2. Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.
Mengganti kedudukan orang tua yang meninggal dunia tersebut selanjutnya disebut ahli waris pengganti. Ketentuan semacam ini tidak dijumpai dalam fikih empat madhab, akan tetapi merupakan adopsi dari hukum waris Islam Pakistan.  dimana ahli waris pengganti itu hanyalah cucu saja.
Setelah masalah ahli waris Pengganti ini masuk dalam KHI yang dirumuskan dalam pasal 185, ternyata dalam pelaksanaannya berkembang jauh dari aslinya, bahkan mengacu pada  BW, dimana terdapat tiga macam bentuk ahli waris pengganti,  sebagai berikut :
  1. Penggantian dalam garis lencang ke bawah, yaitu penggantian seseorang oleh keturunannya, dengan tidak ada batasnya, selama keturunannya itu tidak dinyatakan onwaarding atau menolak menerima warisan (Pasal 842). Dalam segala hal, pergantian seperti di atas selamanya diperbolehkan, baik dalam hal bilamana beberapa anak si yang meninggal mewaris bersama-sama, satu sama lain dalam pertalian keluarga yang berbeda-beda derajatnya.

  2. Penggantian dalam garis kesamping (zijlinie),  di mana tiap-tiap saudara si meninggal dunia, baik sekandung maupun saudara tiri, jika meninggal dunia lebih dahulu, digantikan oleh anak-anaknya. Juga penggantian ini dilakukan dengan tiadabatasnya (Pasal 853, jo. Pasal 856, jo. Pasal 857)

  3. Penggantian dalam garis ke samping menyimpang dalam hal kakek dan nenek baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, maka harta peninggalan diwarisi oleh golongan keempat, yaitu paman sebelah ayah dan sebelah ibu. Pewarisan ini juga  dapat digantikan oleh keturunannya sampai derajat keenam (Pasal 861).
Dalam Hasil Rakernas Mahkamah Agung RI pada tahun 2010 dan tahun 2011 dijelaskan bahwa ahli waris pengganti hanya sampai cucu, sesuai pasal 185 KHI, tidak sama dengan BW.

TABEL AHLI WARIS DAN BAGIAN WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM

TABEL AHLI WARIS DAN BAGIAN WARIS  HUKUM WARIS ISLAM INDONESIA MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM ( KHI )

SEBAB / HUBUNGAN
AHLI WARIS
SYARAT
PEROLEHAN HARTA WARIS
DASAR HUKUM
Al-Qur’an / Hadits
Pasal
KHI
A
PERKAWINAN (yang masih terikat status
1.
Istri / Janda
Bila tidak ada anak/cucu
1/4
An-Nisa’ 12
180
Bila ada anak/cucu
1/8
2.
Suami / Duda
Bila tidak ada anak/cucu
1/2
An-Nisa’ 12
179
Bila ada anak/cucu
1/4
B.


NASAB / HUBUNGAN DARAH
1.
Anak Perempuan
Sendirian (tidak ada anak  dan cucu lain)
1/2
An-Nisa’ 11
176
Dua atau anak perempuan tidak ada anak atau cucu laki-laki
2/3
2.
Anak Laki-Laki
Sendirian atau bersama anak / cucu lain (laki-laki atau perempuan)
Ashobah (sisa seluruh harta setelah dibagi pembagian lain)
An-Nisa’ 11 dan Hadist  01
Keterangan : Pembagian antara laki-laki dan perempuan 2 banding 1
3.
Ayah Kandung
Bila tidak ada anak / cucu
1/3
An-Nisa’ 11
177
Bila ada anak / cucu
1/6
4.
Ibu Kandung
Bila tidak ada anak/cucu dan tidak ada dua saudara atau lebih dan tidak bersama Ayah Kandung
1/3
An-Nisa’ 11
178
Bila ada anak/cucu dan / atau  ada dua saudara atau lebih dan tidak bersama  Ayah Kandung
1/6
Bila tidak ada anak/cucu dan tidak ada dua saudara atau lebih tetapi  bersama Ayah Kandung
1/3 dari sisa sesudah diambil istri/janda atau suami/duda
An-Nisa’ 11
5.
Saudara laki-laki atau perempuan seibu
Sendirian tidak ada anak / cucu dan tidak ada  Ayah Kandung
1/6
An-Nisa’ 12
181
Dua orang lebih tidak ada anak / cucu dan tidak ada  Ayah Kandung
1/3
6.
Saudara perempuan kandung atau seayah
Sendirian tidak ada anak / cucu dan tidak ada  Ayah Kandung
1/2
An-Nisa’ 12
182
Dua orang lebih tidak ada anak / cucu dan tidak ada  Ayah Kandung
2/3
7.
Saudara laki-laki kandung atau seayah
Sendirian atau bersama saudara lain dan tidak ada anak / cucu DAN  tidak ada ayah kandung
Ashobah (sisa seluruh harta setelah dibagi pembagian lain)
An-Nisa’ 12 dan Hadits 01
Keterangan : Pembagian antara laki-laki dan perempuan 2 banding 1
8.
Cucu / keponakan (anak saudara)
Menggantikan kedudukan orang tuanya yang menjadi ahli waris. Persyaratan berlaku sesuai kedudukan ahli waris yang diganti
Sesuai yang diganti kedudukannya sebagai ahli waris
Tidak ada / Ijtihad
185
Catatan :
ü Harta peninggalan sebelum dibagi sebagai harta waris terlebih dahulu harus diselesaikan masalah hutang piutang pewaris (yang meninggal) dan biaya pemakaman serta wasiat yang dibolehkan (bila ada). Disamping itu bila si mayit meninggalkan istri (janda) atau suami (duda) dan masih terikat perkawinan perlu dipisahkan lebih dahulu antara harta bawaan (harta yang dipunyai sebelum menikah) dan harta bersama (harta yang diperoleh setelah pernikahan atau harta gono-gini). Sesuai dengan hukum adat bahwa harta bersama/gono-gini dibagi menjadi dua bagian, separuhnya  adalah milik  suami dan separuhnya milik istri.
ü Jadi yang menjadi Harta warisan adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris selama  sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah(tajhis), pembayaran hutang dan pemberian kerabat (Pasal 171  butir e  KHI ).
ü Kerabat yang tidak memperoleh bagian waris, ANAK ANGKAT atau ORANG TUA ANGKAT dapat memperoleh bagian sebagai HIBAH (ketika pewaris masih hidup) atau sebagai WASIAT WAJIBAH, atau diberi bagian yang tidak boleh lebih dari 1/3 harta warisan sesuai ketentuan pasal 194 s/d 214 KHI.
ü Para ahli waris dapat bersepakat melakukan perdamaian dalam pembagian harta warisan, setelah masing-masing menyadari bagiannya. (pasal 183)
ü Para ahli waris baik secara bersama-sama atau perseorangan dapat mengajukan permintaan kepada ahli waris yang lain untuk melakukan pembagian harta warisan. Bila ada diantara ahli waris yang tidak menyetujui permintaan itu, maka yang bersangkutan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Agama untuk dilakukan pembagian warisan.  (pasal 188)

Kamis, 10 Oktober 2013

KOPERASI SEBAGAI BADAN HUKUM

Kegiatan ekonomi memerlukan hukum di dalam pelaksanaannya agar terpelihara dan terjaminnya keteraturan dan ketertiban, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan merugikan supaya keadilan dapat terpenuhi bagi semua pihak. Seperti yang dikemukakan oleh Kranenburg bahwa keadilan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban (teori ev postulat), begitu pula yang dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa keadilan adalah suatu keadaan yang mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan masyarakat. [1] Pelaksanaan hukum dan keadilan harus dapat berjalan seimbang, seperti pendapat Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya.[2]  
        Keadilan juga menjadi hal penting yang dikehendaki oleh founding fathers agar tercipta kesejahteraan di Indonesia, seperti tercermin dalam sila kelima dari Pancasila, bahwa keadilan sosial adalah bagi seluruh rakyat Indonesia, sehingga dikehendaki adanya kemakmuran yang merata di antara seluruh rakyat, dan di dalam Pembukaan UUD 1945 antara lain dinyatakan bahwa, salah satu tujuan negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas dari pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu[3]:
“Negara hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”, sebagaimana dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 23, 27, 33, dan 34 UUD 1945.
Arti keadilan sosial di atas mengandung dua makna yaitu sebagai berikut prinsip pembagian pendapatan yang adil dan prinsip demokrasi ekonomi.[4]. Pasal 33 Ayat (4) UUD 1945 mencantumkan demokrasi ekonomi sebagai cita-cita sosial, sehingga di dalam pelaksanaan perekonomian nasional harus didasarkan pada demokrasi ekonomi bahwa siapapun dapat melakukan kegiatan ekonomi. Terwujudnya demokrasi ekonomi dijalankan atas suatu asas yaitu asas kekeluargaan yang termuat dalam Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945. Penjelasan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 mengatakan bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan adalah koperasi.
  Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2005-2025 menyatakan koperasi sebagai bagian penting dalam upaya mewujudkan daya saing bangsa dan untuk meningkatkan pendapatan kelompok masyarakat berpendapatan rendah. Di samping itu, menurut Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 mencantumkan bahwa pemberdayaan koperasi di Indonesia merupakan salah satu upaya strategis dalam meningkatkan taraf hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
 Pengaturan tentang koperasi terdapat dalam Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut UU Perkoperasian), dan  pada tanggal 30 Oktober 2012 telah diundangkan undang-undang perkoperasian yang baru Nomor 17 tahun 2012 Tentang Perkoperasian.  Undang-undang Nomor 17 tahun 2012 lebih rinci mengatur mengenai kegiatan perkoperasian, seperti adanya aturan lebih lengkap tentang perubahan anggaran dasar, kewajiban pengurus, modal penyertaan, dan praktek investasi pada koperasi. Menurut Pasal 1 butir 1, UU Perkoperasian definisi koperasi adalah:
“Badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan”.
UU Perkoperasian merupakan peraturan yang lebih khusus yang dapat mengesampingkan peraturan yang lebih umum tentang koperasi. Apabila peraturan atau perjanjian tersebut tidak diatur sendiri, maka berlakulah ketentuan dari KUH Perdata, hal ini terlihat di dalam KUH Perdata Bab IX tentang perkumpulan Pasal 1660 yang menyebutkan  bahwa:
“Hak-hak serta kewajiban para anggota perkumpulan diatur menurut peraturan atau perjanjian perkumpulan itu sendiri, atau menurut surat pendiriannya sendiri”.
Manusia (natuurlijk persoon) ternyata bukan satu-satunya pendukung hak dan kewajiban di dalam pergaulan hukum, sebab masih ada lagi pendukung hak dan kewajiban yang dinamakan badan hukum (rechtpersoon). Chidir Ali memberi definisi terhadap badan hukum yaitu[5]:
“Segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat yang demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban”.
Badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus dengan perantaraan organnya yang bertindak atas nama badan hukum. Otto Von Gierke mengemukakan suatu teori yang dinamakan teori organ, bahwa badan hukum itu adalah suatu realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia dalam pergaulan hukum.[6] 
Koperasi merupakan salah satu bentuk badan usaha berbadan hukum sebab akta pendiriannya disahkan oleh Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, serta pengesahan tersebut diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 9 UU Perkoperasian. Berdasarkan bentuk koperasi yang merupakan badan hukum, maka koperasi merupakan subyek dalam hubungan hukum yang dapat menjadi pembawa hak dan kewajiban hukum. Badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus dengan perantaraan manusia atas nama badan hukum, sehingga koperasi memerlukan organ dalam kegiatannya.
Pembagian organ koperasi yang tercantum dalam Pasal 21 UU Perkoperasian terdiri dari:
1.    Rapat anggota
2.    Pengurus
3.    Pengawas
 Rapat Anggota berhak meminta keterangan dan pertanggungjawaban dari pengurus dan pengawas mengenai pengelolaan koperasi, sebab tugas utama pengurus adalah mengelola koperasi dan usahanya, sedangkan tugas utama pengawas adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijaksanaan dan pengelolaan koperasi. Pasal 30 Ayat (2) UU Perkoperasian menguraikan bahwa pengurus mempunyai wewenang untuk :
1.      mewakili koperasi di dalam dan di luar pengadilan
2.      memutuskan penerimaan dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan dalam anggaran dasar
3.      melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan Rapat Anggota.
Ketentuan Pasal 16 UU Perkoperasian menyebutkan bahwa jenis koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan kepentingan ekonomi anggotanya. Berdasarkan pendekatan menurut lapangan usaha dan atau tempat tinggal para anggotanya terdapat jenis koperasi simpan pinjam.[7] Koperasi dengan jenis simpan pinjam adalah koperasi yang anggota-anggotanya terdiri dari orang-orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam soal-soal perkreditan atau simpan pinjam.[8]
  Koperasi terdiri atas dua bentuk seperti yang termuat dalam Pasal 6 UU Perkoperasian, yaitu koperasi primer dan koperasi sekunder. Koperasi primer, baru dapat didirikan apabila ada minimal 20 (dua puluh) orang yang secara bersama-sama mempunyai tujuan untuk mendirikan suatu koperasi, sehingga hubungan antara berbagai perangkat dalam badan usaha koperasi tersebut menimbulkan suatu hubungan hukum yang akan terus terjadi selama ada interaksi internal maupun eksternal. Pengaturan mengenai hubungan hukum tersebut, diawali oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu dalam buku II tentang perikatan. Pasal 1234 KUH Perdata menyebutkan bahwa :
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu”.
Adapun memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu dinamakan prestasi. Perikatan yang dilakukan oleh para anggota koperasi tersebut dituangkan ke dalam anggaran dasar koperasi sebagai dasar formal bagi persetujuan atau kesepakatan para anggota untuk bekerja sama yang merupakan fondasi bagi koperasi.[9] Persetujuan tersebut sah apabila syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata telah terpenuhi, yaitu :
(1). Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
(2). Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
(3). Suatu hal tertentu
(4). Suatu sebab yang halal
Persetujuan yang telah dibuat tersebut sah berlaku menjadi undang-undang bagi para anggota dan semua unsur koperasi yang telah membuatnya, dan tidak dapat ditarik kembali kecuali dengan sepakat oleh kedua belah pihak, serta harus didasarkan pada itikad baik, sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata. Persetujuan di dalam sebuah anggaran dasar membuat hak dan kewajiban masing-masing organ koperasi jelas serta sebagai tata tertib ke dalam koperasi yang mengikat semua organ koperasi.
Pengelolaan kegiatan koperasi oleh pengurus dalam praktek tidak selalu sesuai dengan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang, sebab mungkin saja terjadi suatu kelalaian. Kelalaian yang dilakukan oleh pengurus koperasi dapat menyebabkan adanya wanprestasi. Ketentuan tentang wanprestasi terdapat dalam Pasal 1238 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa:
Si berutang adalah Ialai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan”.
Apabila yang seharusnya memenuhi suatu prestasi itu lalai dalam kewajibannya untuk menyerahkan sesuatu, maka sejak saat itu risiko berpindah kepadanya. Wanprestasi dalam ilmu hukum dapat berupa empat macam yaitu[10]:
1.  Sama sekali tidak memenuhi prestasi
2.  Tidak tunai memenuhi prestasi
3.  Terlambat memenuhi prestasi
4.  Keliru memenuhi prestasi
Kelalaian oleh pengurus koperasi dapat berpengaruh kepada anggotanya, sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. Berdasarkan Pasal 1243 KUH Perdata anggota koperasi dapat meminta penggantian biaya, rugi dan bunga apabila tetap dilalaikannya suatu prestasi padahal sebelumnya telah diberikan surat peringatan kepada pengurus.
Apabila dalam hal pengurus meninggal dunia, terdapat dua instrumen hukum pengalihan utang pengurus kepada ahli warisnya, yaitu dengan hukum waris adat dan hukum waris islam, sebab sistem hukum nasional Indonesia beragam. Hukum waris islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. [11] Hukum islam bersumber dari wahyu Ilahi yang pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari iman seseorang. Menurut Prof. Soepomo pengertian dari hukum waris adat sebagai berikut :[12]
“Hukum adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya”.
Sistem kewarisan adat tergantung pada bentuk susunan masyarakat tertentu dimana sistem kewarisan itu berlaku, sebab sistem tersebut dapat ditemukan juga dalam berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun dalam satu bentuk susunan masyarakat dapat pula dijumpai lebih dari satu sistem kewarisan. Hal penting dalam masalah waris adat ada tiga unsur yaitu:[13]
1.    Seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan
2.    Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu
3.    Harta warisan atau harta  peninggalan yaitu kekayaan “in concreto” yang ditinggalkan dan sekali beralih kepada para ahli waris itu.
A.    Metode Penelitian
Metode yang digunakan Peneliti dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
[1] Disarikan dari buku Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), PT Refika Aditama, Bandung 2009, hlm 11.
[2] Ibid., hlm 10.
[3]Zulkarnain Djamin, Struktur Perekonomian Dan Strategi Pembangunan Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta 1995, hlm 6.
[4] Ibid., hlm 10.
[5] Chidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hlm 21.
[6] Ali Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit Alumni, Bandung,1981, hlm 16.
[7]  R.T Sutantya Rahardja Hadhikusuma. Hukum Koperasi Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 62.
[8] Ibid., hlm 65.
[9] Ibid., hlm 70.
[10] Riduan Syahrani, Seluk Beluk  Asas-asas Hukum Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 2000, hlm 228.
[11] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007,hlm 313.
[12] Soerojo wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, CV Haji Masagung, Jakarta, 1994, hlm 161.
[13] Ibid., hlm 162.

Hak-Hak dan Kewajiban Dari Bapak Tiri dan Anak Tiri

  Ar Rabibah adalah anak perempuannya istri yang bukan dari suami yang sekarang (anak tiri). Anak tiri perempuan ini termasuk yang haram din...