Adsense

Rabu, 12 Januari 2011

makalah hukum internasional tentang pelanggaran HAM


PELANGGARAN HAM
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dengan lahirnya Deklarasi HAM Sedunia pada 10 Desember 1948 diharapkan keadilan di dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat di dunia ini dapat ditegakkan. Deklarasi tersebut mempunyai arti penting yang besar karena menjadi dasar untuk mengubah dan membebaskan peradaban manusia yang telah berabad-abad didominasi ketidak-adilan, di mana hak asasi manusia tidak mendapat perlindungan, jutaan manusia sampai abad XIX masih berstatus budak, yang kehilangan hak-hak asasinya dan dianggap sebagai benda yang dapat diperjual belikan.
Baru di abad XX dengan meningkatnya kesadaran akan rasa keadilan dan kemanusiaan maka lahirlah Deklarasi HAM Sedunia PBB. Meskipun demikian deklarasi tersebut hanyalah suatu deklarasi semata-mata, yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat bagi negara anggota PBB, apalagi bagi negara yang tidak menjadi anggota PBB. Hanya sesudah materi dari deklarasi tersebut diadopsi di dalam perundang-undangan (konstitusi, UU dan lain-lainnya) negara bersangkutan barulah mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.
Meskipun UUD 1945 (asli) tidak memuat banyak pasal tentang HAM tetapi hal itu tidak berarti bahwa RI tidak menyetujui HAM. Sebab Dasar Negara Pancasila memuat inti dasar dari norma-norma HAM. Di samping itu dalam Pembukaan UUD 1945 memuat suatu pernyataan tentang hak asasi yang lebih agung dan mulia nilainya, sebab sifatnya tidak individualistik, melainkan sifat kolektif besar manusia – bangsa: “Bahwa sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan.” Deklarasi yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut lahir 3 tahun lebih awal dari pada Deklarasi HAM Sedunia, dan yang lebih super-penting lagi deklarasi dalam UUD 1945 tersebut adalah deklarasi Hak Asasi mengenai hak dan kedaulatan atas tanah air, atas sumberdaya alam yang berabad-abad telah dirampas oleh kaum kolonialis. Jelas di sini terdapat dikotomi antara penjajah dan yang dijajah, yang tidak mungkin dikaburkan. Sedang HAM dari Deklarasi PBB hanyalah bersifat perorangan – individualistik, meskipun tidak diragukan arti pentingnya dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat, tapi individualisme (nyawa dari ideologi libralisme) ini di era globalisasi bisa mencampur-adukkan atau mengaburkan antara sipenjajah dan yang dijajah dengan selimut hak kebebasan berpendapat dan hak asasi lainnya. Jelasnya, dalam era globalisasi neokolonialisme bisa menggunakan baju HAM. Maka kita harus dengan bijak menggunakan HAM, jangan latah, jangan sampai HAM menelan HAB – hak asasi bangsa Indonesia atas kemerdekaan dan kedaulatan atas kekayaan alamnya.
Setelah mencapai kemerdekaan, stadium selanjutnya bagi bangsa Indonesia ialah berjuang menegakkan nilai-nilai HAM. Ketentuan-ketentuaan hak asasi manusia yang tercantum dalam dokumen PBB (Deklarasi HAM Sedunia, Kovenan Hak Sipil dan Politik, Kovenan Hak Ekonomi dan Sosial-budaya, dll) sudah diratifikasi dan diadopsi dalam perundang-undangan Indonesia. UUD 1945 setelah mengalami 4 kali amandemen telah memuat banyak pasal mengenai hak asasi manusia. UU organik juga sudah terbentuk. Dengan telah terbentuknya UU Pengadilan HAM, seharusnya banyak kasus pelanggaran HAM yang sudah bisa dituntaskan. Tapi kenyataannya tidak demikian. Banyak kasus pelanggaran hak asasi manusia tidak mendapat penyelesaian semestinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa keadilan tidak ditegakkan. Bisa dihitung dengan jari mengenai berapa kasus HAM yang sudah diselesaikan oleh Pengadilan.
Yang sangat menyolok mata dan memprihatinkan adalah belum dijamahnya oleh para penegak hukum kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi tahun 1965-66 berkaitan dengan peristiwa G30S. Sudah berlalu 42 tahun pelanggaran HAM berat tersebut sepertinya dianggap tidak terjadi apa-apa. Padahal tanpa dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum yang berlaku jutaan manusia telah dibantai, ribuan orang dibuang ke pulau Buru dan dijebloskan di penjara-penjara, ratusan warganegara Indonesia di luar negeri dicabuti paspornya. Sejatinya fakta-fakta tersebut di atas saja sudah merupakan bukti yang cukup dan tak terbantahkan adanya tindak pelanggaran HAM berat. Tambahan pula adanya jutaan sanak saudara mereka yang tak mengerti apa-apa didiskriminasikan hak-hak politik dan sipilnya oleh penguasa Orde Baru, yang praktis, mereka tersebut juga menjadi korban pelanggaran HAM kedua. Nah kasus para korban pelanggaran HAM tersebut di atas semuanya sampai detik ini belum dituntaskan oleh para penegak hukum. kebenaran dan keadilan masih belum ditegakkan di Indonesia, yang dinamakan negara hukum.
Dalam usaha penegakan kebenaran dan keadilan, berkaitan dengan pelanggaran HAM berat 1965-66, tampak ada dua jalan: pertama melalui pengadilan HAM dan kedua melalui Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Jalan Pengadilan HAM agaknya sangat sulit dilaksanakan. Sebab terlalu banyak oknum yang berkepentingan agar jalan tersebut tertutup. Mantan rejim Suharto dan pendukungnya yang sampai sekarang masih berperan di mana-mana tidak menghendaki adanya pengadilan terhadap pelanggaran HAM berat 1965-66.
Sedang jalan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang merupakan jalan kompromi dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat masa lampau (terutama yang berkaitan dengan tahun 1965-66) ternyata mengalami kegagalan, sebab UU KKR 2004 dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi, karena dianggapnya bertentangan dengan UUD 1945. Meskipun UU KKR tersebut jelas tidak akan menghasilkan keadilan sejati, sebab masih menyisakan eksistensi impunity, toh telah dimatikan sebelum sempat berjalan.
Kalau kedua jalan tersebut dewasa ini tidak dapat ditembus, berarti para korban pelannggaran HAM berat masa lampau (1965-66) sampai waktu tak tertentu tidak bakal mendapatkan keadilan. Tampaknya masa waktu 42 tahun yang telah dilalui masih harus diperpanjang lagi. Sampai kapan, itulah pertanyaannya.
Berhubung dengan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia Ifdhal Kasim, Ketua KOMNAS HAM baru mempunyai niat untuk melaksanakan fungsinya sebaik mungkin sebagai penanggung jawab kebijakan institusi penegak HAM. Hal ini perlu didukung dan disokong sepenuhnya. Hanya kepada Ifdhal Kasim diharapkan agar pembelaan terhadap korban pelanggaran HAM masa lampau tidak mengulang atau melanjutkan praktek diskrimnatif (pilih kasih) seperti telah diterangkan di atas. Kami (para korban) melihat penanganan kasus korban pelanggaran HAM berat masa lampau (1965-66) sangat minim sekali, sehingga terasa adanya perlakuan diskriminasi. Padahal pendiskriminasian penanganan kasus pelanggaran HAM tersebut di atas identik dengan membiarkan berlangsungnya ketidak adilan dan eksistensi impunitas. Dan bersamaan dengan itu tersirat arti pembenaran terhadap tindak kejahatan melawan kemanusiaan.
Juga di dunia internasional tidak terdengar suara kepedulian para institusi/lembaga hak asasi manusia terhadap jutaan korban pelanggaran HAM berat 1965-66 dibanding dengan kepeduliannya terhadap para korban pelanggaran HAM lain-lainnya. Ini jelas juga merupakan tindakan diskriminasi. Fenomena tentang tindakan diskriminasi di luar negeri dan di dalam negeri yang tampak berjalan seiring tentu menimbulkan pertanyaan logis dan adil: Mengapa demikian terjadi? Apakah donasi dari luar negeri kepada lembaga-lembaga di Indonesia mempunyai pengaruh kuat terhadap timbulnya fenomena tindakan diskriminasi tersebut di atas?.
Adalah suatu hal yang positif putusan Mahkamah Konstitusi baru-baru ini, bahwa: “Mantan terpidana kealpaan dan politik dapat menjadi pejabat publik”. Pejabat publik bisa diartikan sebagai presiden, menteri, gubernur, walikota dan lai-lainnya. Sekali lagi kita tidak melihat jamahannya kepada para korban pelanggaran HAM berat 1965-66. Mereka ini bukan orang-orang terpidana politik, sebab tidak pernah diproses berdasar hukum, tetapi orang-orang yang dilanggar hak asasinya. Mereka bukan pelaku kejahatan, tetapi mereka adalah korban tindak kejahatan kemanusiaan. Contoh: ribuan orang yang dibuang ke pulau Buru belasan tahun tidak pernah dibuktikan kesalahannya berdasarkan hukum. Mereka di sana mendapat perlakuan yang biadab dan disiksa dengan kejam.
Kalau mantan terpidana politik (jadi ada putusan pengadilan) saja menurut Mahkamah Konstitusi dapat menjadi pejabat publik, maka mantan tapol pulau Buru (korban pelanggaran HAM, bukan mantan terpidana) secara logika mestinya menjadi pejabat publik bukan masalah lagi. Tapi sebaliknya mereka ini bahkan mendapatkan perlakuan-perlakuan yang sangat jelek – bertentangan dengan HAM, misalnya tidak boleh menjadi pegawai negeri, tidak boleh menjadi guru dan larangan-larangan lainnya, bahkan pernah KTPnya ditempeli kata “ET” sehingga di mana-mana mendapatkan kesulitan dalam hidupnya.
Dan kalau penegak hukum berkemauan menjalankan fungsinya sebagai penegak keadilan maka mudah saja menunjuk hidung siapa yang melakukan pelanggaran HAM berat 1965-66, yaitu penguasa-penguasa militer rejim Suharto pada waktu itu. Sebab merekalah yang membuang orang-orang tersebut di atas ke pulau Buru dan menjebloskan ke dalam penjara-penjara. Tidak perlu susah-susah njlimet mencari data-data, sebab semuanya ada di arsip kopkamtib (kalau belum keburu dimusnahkan). Bahkan kalau pun dokumen-dokumen tersebut sudah dimusnakan, mestinya fakta pembuangan ke pulau Buru saja sudah merupakan bukti kuat yang tak terbantahkan tentang adanya pelanggaran HAM berat.
Sayang sekali hal tersebut di atas tidak mendapat singgungan dari Mahkamah Konstitusi, yang seharusnya dalam memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia tahun ini dijadikan bagian tema penting demi transparansi dan sosialisasi penegakan HAM, Keadilan dan Konstitusi di Indonesia.
Tampak perjuangan untuk tegaknya Keadilan dan Hak Asasi Manusia di Indonesia masih jauh dari sukses untuk menggeser sasarannya dari titik mati. Sedang diskriminasi dalam penanganan kasus pelanggaran HAM (terutama kasus pelanggaran HAM berat 1965-66) masih terus berjalan. Kalau penyelenggara negara dan lembaga-lembaga HAM menyadari hal-hal tersebut di atas penanganan untuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 paling tidak harus berjalan sejajar/paralel dengan penanganan masalah pelanggaran HAM lainnya. Mengingat besarnya korban pelanggaran HAM berat 1965-66 maka penyelesaian hukum secara adil kasus pelanggaran HAM berat 1965-66 seharusnya mendapat prioritas utama. Semoga masa depan penyelesaian masalah tersebut mempunyai perspektif yang positif bagi penegakan demokrasi, keadilan dan HAM.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun permasalahan yang akan dibahas dalam pembuatan makalah ini adalah sebagi berikut :
a)      Apa yang menyebabkan seringnya terjadi pelanggaran HAM di luar negeri ?
b)      Kasus pelanggaran HAM apa saja yang sering terjadi di luar negeri?
c)      Bagaimana tanggapan dan peranan pemerintah Indonesia yang bekerja sama dengan pihak hukum melihat kasus pelanggaran HAM yang terjadi di luar negeri hari ini, terutama pelanggaran HAM yang menimpa TKI kita saat ini?
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :
a)      Untuk mengetahuiapa penyebab atau motif seringnya terjadi pelanggaran HAM di luar negeri.
b)      Untuk mengetahui kasus pelanggaran HAM yang sering terjadi di luar negeri.
c)      Untuk mengetahui bagaimana peranan pemerintah yang bekerja sama dengan pihak hukum dalam menangani kasus pelanggaran HAM yang telah menimpa TKI kita sampai hari ini.
1.4 Metode  Penelitian
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penyusunan makalah ini adalah melalui metode pustaka, yaitu memperoleh informasi melalui buku – buku yang memuat isi tentang kasus pelanggaran HAM . selain itu, data – data pendukung diperoleh melalui media internet.
1.5 Kegunaan
Adapun kegunaan dari pembuatan makalah ini adalah untuk menambah referensi serta informasi bagi penulis. Di samping itu juga dapat dimanfaatkan oleh pembaca pada umumnya untuk lebih mengetahui sistem dan tata cara penanganan kasus – kasus pelanggaran HAM.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pelanggaran Ham Amerika Serikat
Artikel ini dikutip dari buku “Human Rights Violation by The United States of America” yang dikeluarkan pada 2007 oleh Departemen HAM—Kementerian Politik Luar Negeri, Iran. Ini merupakan buku pertama yang ditulis mengenai pelanggaran HAM berat oleh AS yang terang-terangan berdasarkan sumber-sumber dari berbagai lembaga internasional. Buku ini menggunakan lebih dari 117 referensi sebagai sumber data dan informasi tentang pelanggaran HAM yang dilakukan oleh AS.
Ketaatan, promosi dan perlindungan HAM berdasarkan penghormatan pada perbedaan budaya dalam kerangka universalitas merupakan salah satu pilar kehidupan modern saat ini, yang ditandai dengan globalisasi yang sedang tumbuh. Negara-negara bertanggung jawab dalam domain HAM berdasarkan kenyataan mereka memiliki instrumen-instrumen kekuatan yang diperlukan untuk memberi arah dan efektualitas kepada kekuatan aktif globalisasi. Karena itu, perangai HAM para pemain yang lebih berpengaruh di dunia memiliki dampak besar pada semua aspek kehidupan modern, termasuk penetapan standar dan aplikasi HAM di dunia.
Kementerian Luar Negeri Republik Islam Iran, Musim Semi 2007
94 halaman Direview oleh Hamid Sultan Saleki (Atase Pres Kedubes Iran di Jakarta) Jelas, pelanggaran hak-hak sipil dan politik oleh Pemerintahan AS terhadap mereka yang ada di dunia dalam apa yang disebut “ perang terhadap teror ” tak dapat disamakan dengan pelanggaran HAM oleh sebuah pemerintahan kecil dalam wilayah yang kecil. Situasi yang mengerikan di tempat-tempat seperti Tanjung Guantanamo dan Bagram dan kisah – kisah tentang pusat-pusat penahanan rahasia di seluruh dunia akan berdampak negatif terhadap struktur konsep hukum internasional tentang HAM dan penerapannya di dunia. Lebih parah lagi, itu akan digunakan sebagai rujukan oleh pihak lain, menemukan interpretasi negatif atas ketentuan hukum internasional terhadap HAM di dalam kultur unilateralisme yang sedang tumbuh.
Sejak April 2004, ketika potret pertama muncul mengenai personel militar AS menghina, menyiksa, dan juga memperlakukan dengan buruk tahanan di penjara Abu Ghuraib di Irak, pemerintahan AS berulangkali mencoba memotret pelanggaran HAM itu sebagai insiden yang terpisah, kerja segelintir tentara yang buruk yang bertindak tanpa perinta. Kenyataannya, satu-satunya aspek pengecualian dari pelanggaran di Abu Ghuraib adalah potret. Tetapi kenyataannya pola pelanggaran ini tidak berasal dari aksi beberapa tentara yang melanggar hukum. Kejadian itu berasal dari keputusan yang dibuat oleh Pemerintahann AS untuk membelokkan, mengabaikan, atau mengesampingkan hukum. Kebijakan administrasi yang menciptakan iklim Abu Ghuraib dalam tiga cara fundamental pengelakkan dari hukum intenasional, menerapkan metode interogasi yang bersifat memaksa dan pendekatan tidak melihat kejahatan, tidak mendengar kejahatan pemerintahan Bush.
Kendati fakta bahwa AS telah meratifikasi Konvensi PBB yang menentang penyiksaan dan Konvensi Ketiga dan Keempat Geneva, dan bahwa Pemerintahan AS telah mengakui bahwa perjanjian – perjanjian dimaksud mengikat dalam perang untuk pembebasan Irak, terlihat bahwa Pemerintahan Bush mengklaim para tahanan yang diambil dari Abu Ghuraib tidak digolongkan sebagai tahanan perang di bawah hukum internasional. Bagaimanapun, dalam jawaban, beberapa ahli hukum telah mengungkapkan bahwa AS dapat diwajibkan untuk mengadili beberapa prajuritnya untuk kejahatan perang dan dibawah Konvensi Ketiga dan Keempat, tahanan perang orang sipil yang ditahan dalam suatu perang tak dapat diperlakukan dalam perangai yang merendahkan, dan pelanggaran dalam seksi itu adalah “pelanggaran berat”.
Sejak kejatuhan pemerintahan Taliban di Afganistan, pasukan pimpinan AS telah menangkap dan menahan ribuan orang Afghanistan dan warga negara asing lain di seluruh Afghanistan. Fasilitas penahanan AS yang utama di Afghanistan adalah di pangkalan udara Bagram. CIA juga menahan tahanan yang tak jelas jumlahnya, di pangkalan udara Bagram dan lokasi lain di Afghanistan, termasuk di Kabul. Ada banyak laporan tentang pelanggaran hak asasi manusia oleh personel militer dan intelijen AS di Afghanistan.
Menurut Human Rights Watch, personel militer dan intelijen AS di Afghanistan melakukan sistem interogasi yang meliputi penggunaan deprivasi tidur, deprivasi indera, dan memaksa tahanan untuk duduk atau berdiri dalam posisi yang menyakitkan untuk periode waktu yang lama.. Dalam hal ini, AS telah gagal memberi penjelasan yang cukup atas tuduhan perlakukan buruk terhadap tahanan oleh personel militar dan intelijen AS di Afghanistan.
Human Rights Committee  telah mencatat dengan keprihatinan kekuarangan-kekurangan menyangkut kemerdekaan, ketidak-berpihakan, dan efektivitas investigasi menjadi tuduhan penyiksaan dan kekejian, perlakukan atau hukuman yang tidak manusiawi atau merendahkan yang ditimpakan oleh militer dan personel non militer AS atau pekerja kontrak, di fasilitas penahanan di Guantanmo, Afghanistan, Irak, dan lokasi di luar negeri lainnya, dan pada kasus-kasus kematian yang dicurigai di tempat tahanan di salah satu lokasi-lokasi ini. The Committee menyesal AS tidak memberikan informasi cukup menyangkut penuntutan yang dilontarkan, hukuman-hukuman dan reparasi yang dijamin buat korban.
Sejak 2002 Kamp Guantanamo telah menjalankan perannya sebagai penjara militer dan kamp interogasi dan menahan lebih dari 775 tahanan dari 44 negara dan kebanyakan orang-orang yang dicurigai oleh pemerintahan AS sebagai operatif Al-Qaeda dan Taliban, terlebih, penggunaaan Guantanamo sebagai penjara militer telah diserang oleh organisasi-organisasi hak asasi manusia dan para pengritik lain, yang mengutip laporan-laporan bahwa para tahanan telah disiksa atau diperlakukan secara kejam.
The Committee Against Torture (CAT) menyuarakan keprihatinannya atas laporan-laporan yang bisa dipercaya mengenai tindakan penyiksaan atau kekejian, tidak manusiawi dan perlakukan yang menghina atau hukuman yang dilakukan oleh anggota militer dan sipil tertentu di Afghanistan dan Irak. Juga menjadi keprihatinan bahwa investigasi dan penuntutan banyak kasus-kasus ini, termasuk suatu hasil dalam kematian tahanan, telah membawa pada hukuman yang lembut, termasuk sifat administratif atau kurang dari satu tahun penjara. Dalam hal ini, AS harus mengambil tindakan cepat untuk menghapus semua bentuk penyiksaan dan perlakukan buruk terhadap tahanan oleh personel militer dan sipil, di teritori mana saja dibawah juridiksinya, dan harus segera serta melakukan tidakan investigasi secara mendalam, menuntut semua yang bertanggung jawab bagi tindakan semacam itu, dan menjamin mereka dihukum secara wajar, menurut keseriusan kejahatan.
Jelas, AS telah secara eksplisit dan sistematik melanggar standar internastional menyangkut perlakukan manusiawi terhadap tahanan yang membawa pada keberatan yang dimunculkan oleh organisasi internasional inter alias Human Rights Commission and Committee Against Torture.
Selain itu, AS juga di klaim sebagai Negara pelanggar HAM terburuk selama 50 tahun terakhir. Amnesti Internasional (AI) menilai Amerika Serikat sebagai pelaku pelanggaran HAM terburuk selama 50 tahun terakhir, sejak negara adidaya itu mengeluarkan kebijakan perang terhadap terorisme dan invasinya ke Iraq.
Dalam laporan tahun 2004-nya, lembaga HAM yang berbasis di London ini menyebutkan, agenda keamanan global yang dipromosikan oleh AS, miskin visi dan tidak punya dasar yang kuat. Apa yang dilakukan AS, menyerang negara lain dengan mengerahkan tentaranya, merupakan pelanggaran hak asasi, mengganggu rasa keadilan dan kebebasan, dan membuat dunia menjadi tempat yang mengerikan.
Invasi dan penguasaan wilayah Iraq oleh otoritas yang dibentuk negara-negara koalisi, menyebabkan ribuan orang di Iraq ditahan. Laporan itu juga menyebutkan, ratusan orang dari sekitar 40 negara, di penjarakan AS tanpa proses hukum di Afghanistan.
“Lebih dari 600 warga negara asing ditahan tanpa tuduhan yang jelas atau proses hukum, di penjara Guantanamo, Kuba. Mereka tidak diberi akses ke keluarga atau ke penasehat hukum. Orang-orang ini ditahan atas dugaan terkait dengan Al-Qaeda. Selain di Guantanamo, diduga AS menahan sejumlah tawanannya di beberapa lokasi yang tidak diketahui,” papar laporan tersebut.
Sekretaris Jenderal Irene Khan menyatakan, perang terhadap terorisme seharusnya dibarengi dengan upaya melindungi hak asasi manusia, tapi pada kenyataannya, kampanye anti terorisme dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, saling bertentangan.
Khan mengatakan, dunia telah melihat kenyataan yang sebenarnya, setelah foto-foto penyiksaan dan pelecehan di penjara Abu Graib tersebar di masyarakat luas. Ini adalah konsekuensi logis, dari perburuan yang membabi buta yang dilakukan AS sejak peristiwa 11 September. AS telah mengabaikan dan menempatkan dirinya diluar sistem hukum yang ada.
AS telah kehilangan moral dan potensinya untuk melakukan segalanya dengan cara yang damai,” kata Khan dalam keterangan persnya di London. Amnesti Internasional menyatakan, pihak Departemen Kehakiman AS telah mengakui ada problem besar dalam menangani ratusan tahanan warga negara asing sejak peristiwa 11 September.
Selain tidak memberikan akses pada keluarganya, AS juga tidak memberi akses agar para tahanan bisa didampingi pengacar agar proses hukumnya bisa segera dilakukan. Selain itu, bukti-bukti menunjukkan adanya pola penyiksaan fisik maupun verbal yang dilakukan oleh para penyidik.
Amnesti Internasional juga memaparkan, pelanggaran Ham lainnya yang dilakukan AS, antara lain, penahanan sekitar 6.000 anak-anak migran dengan tuduhan melakukan kenakalan remaja. Anak-anak ini ditahan sampai berbulan-bulan.
Disamping itu, polisi dan penjaga penjara di AS, telah menyalahgunakan senjata dan menggunakan bahan kimia terhadap para tahanannya, yang menyebabkan kasus tewasnya sejumlah tahanan di penjara AS.
Amnesti Internasional juga mengkritisi penerapan hukuman mati di AS. Sepanjang tahun 2003, sudah 65 orang yang menjalani hukuman mati di AS. Total, sudah ada 885 orang yang menjalani hukuman mati sejak AS menerapkan kembali hukuman itu pada tahun 1976. AS dinilai juga telah melanggar aturan internasional dalam menerapkan hukuman mati ini, karena telah mengenakkannya pada anak dibawah umur 18 tahun.
Yang paling hangat, Amnesti Internasional, mengkritik AS karena berupaya mendapatkan kekebalan hukum dari pengadilan internasional bagi tentaranya yang melakukan kejahatan perang.
Selain AS, Amnesti Internasional menilai Inggris juga telah melakukan pelanggaran Ham di Iraq. “Pengadilan di Inggris dan AS, kini mulai melakukan evaluasi atas kekuasaan eksekutif yang sudah melanggar hak asasi,” tulis laporan tersebut.
Amnesti Internasional menyatakan, kedua negara ini mengklaim Iraq punya senjata pemusnah massal hanya untuk membenarkan tindakannya di negara lain. Ketika AS dan Inggris terobsesi dengan adanya ancaman senjata pemusnah massal, mereka sendiri telah menjadi senjata pemusnah massal yang sesungguhnya. Mereka sudah bertindak tidak adil, semena-mena, penyebab munculnya kemiskinan, diskriminasi, rasis, perdagangan senjata gelap dan melakukan kejahatan terhadap anak-anak dan wanita.
Laporan lembaga hak asasi manusia Amnesti Internasional ini, juga menyoroti masalah pendudukan Israel di Palestina. Lembaga ini bahkan menyebut Israel sebagai penjahat perang karena tindakan brutal yang dilakukannya.
AS – Inggris ancaman terbesar bagi keamanan dunia. Maksud hati hendak menjadi polisi dunia apa daya jadi teroris dunia. Begitulah ungkapan yang klop bagi AS yang tengah dihantam kutukan dunia internasional atas kasus Abu Gharib. Adalah The International Institute for Strategic Studies (IISS) yang menuduh AS dan Inggris sebagai pemicu utama kian merebaknya rasa tak aman di dunia. Hal ini menurut IISS, terbukti setelah AS-Inggris mencaplok Irak. Selain itu, AS-Inggris juga telah menyebabkan makin bertambahnya pengikut jaringan Al-Qaeda menjadi sekitar 18.000 anggota yang tengah bersiap melakukan aksi penyerangan atas Barat.
IISS juga melontarkan kritikan pedas atas AS-Inggris, menurutnya, mereka tak akan mampu membayar harga kegagalannya di Irak, dan hal itu akan menjadi mimpi buruk bagi strategi AS dan Barat. IISS adalah sebuah lembaga studi terkenal yang bermarkas di London Inggris. Setiap tahunnya IISS selalu merilis laporan-laporan yang berkaitan dengan isu-isu internasional strategis dan mengkaitkannya dengan perkembangan paling anyar di berbagai belahan dunia.
Menurut IISS, sepanjang tahun 2003-2004 telah terjadi intervensi AS atas Irak dalam masalah-masalah internasional. Laporan itu menilai, keberhasilan demokratisasi di Irak akan menjadi sebuah model bagi reformasi negara-negara Teluk dan Timur Tengah di mana Timteng sebagai kunci bagi keamanan regional dan stabilitas internasional. Namun demikian, jika gagal dan Irak kembali menjadi negara otoriter maka harapan itu akan sirna, akhirnya AS akan dipandang sebagai penjajah bukan sebagai pembebas.
Sebelumnya IISS pada tahun 2003 telah memprediksi bahwa, ancaman terorisme anti-Barat akan makin meningkat pasca aneksasi atas Irak. Bahkan menurut IISS, sekarang ini AS tengah menebar benih-benih perpecahan antara dirinya dengan Eropa.
Selanjutnya AS mengklaim bahwa Negara kita sebagai pelanggar HAM. Masih ingatkah pendapat Amerika terhadap kita,bangsa Indonesia tentang pelanggaran HAM yang kita lakukan di Aceh,Timor Leste (dulu Timor Timur) dan Papua.Kita dianggap bangsa yang tidak beradab tidak mengerti tentang apa itu hak asasi manusia. Padahal waktu itu kita tidak pernah melakukan genosida,pembunuhan dan pembantaian,mana mungkin? Mereka adalah saudara kita sendiri, mereka adalah satu tanah tumpah darah dengan kita,senasib sepenanggungan dan bahkan pendahulu kita berjanji untuk mengikrarkan Indonesia Raya dari Sabang sampai Merauke,itu bukan keputusan sedikit orang dan tidak main –  main ,itu dari lubuk hati kita yang terdalam.
Di berbagai media internasional kita dituduh menjajah Timor Leste, memperlakukannya dengan semena mena, dan menelantarkanya,yang terjadi kita justru membantu Timor Timur (sebutan dahulu) membangun sarana infrastruktur dan pemerataan pembangunan,asal diketahui saja setelah merdeka mereka malah hidup jauh lebih susah daripada hidup bersama kita dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.Asal kita tahu saja Timor Timur itu memang daerah miskin tidak punya sumber daya alam yang dapat diandalkan.Amerika menuduh kita sebagai bangsa yang tidak becus mengatur negara kita sendiri, tapi yang terjadi adalah Amerika menyerang Iraq dan Afghanistan,mendukung agresor zionis membantai Palestina dan lain sebagainya.Tidakkah Amerika sadar bahwa setelah genderang perang ditabuh jutaan orang menderita akibat ulahnya, ratusan ribu orang tewas di Iraq dan Aghanistan dan rakyat Palestina juga menderita akibat senjata buatan Amerika yang diberikan kepada majikanya,Israel.
2.2 Kasus Pelanggaran HAM  Melalui Perekrutan Langsung TKI
Salah satu faktor penyebab kompleksitas permasalahan yang terus silih berganti menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Malaysia adalah penipuan, tindak kekerasan, over worked, pelecehan seksual/pemerkosaan dan sebagainya. Kebijakan Pemerintah Malaysia yang mengizinkan calon majikan Malaysia merekrut langsung TKI di Indonesia. Sebagai gambaran, berikut dideskripsikan kasus yang menimpa Peter (asal Jakarta) dan dua orang rekannya (asal Sunda) berdasarkan penuturan mereka di Konsulat Jenderal R.I. (KJRI.
Peter yang berumur 23 tahun. Pria lajang berkulit putih dan berambut lurus, kelahiran Jakarta, dan beralamat di Pondok Pinang Kebayoran Lama Lebak Bulus ini, adalah salah satu tamatan Sekolah Mengah Pariwisata (SMIP) yang mencoba menambah pengalaman dan mengadu nasib ke negeri seberang (Malaysia). Ia mempuyai pengalaman kerja di beberapa tempat di Jakarta sebagai coffee maker, antara lain: di Hotel Horison, Dom Cafe, dan terakhir di sebuah restoran di kawasan Senen.
Ketika ia sedang bekerja di tempat kerjanya di kawasan Senen, datang menghampiri seorang pria paroh baya pengunjung restoran yang memperkenalkan diri berasal dari negeri jiran (Melaysia), dan menawari pekerjaan serupa dengan gaji yang lebih besar di Malaysia . Pria tersebut juga memintanya untuk mencarikan beberapa orang pekerja lainnya. Setelah beberapa hari berpikir, juga minta pendapat orang tuanya, Peter yang terakhir bekerja di sebuah restoran di kawasan Senen sebagai coffe maker dan telah bergaji 1,5 juta rupiah tersebut, memutuskan menerima tawaran bekerja di Malaysia, hitung-hitung untuk menambah pengalaman. Selanjutnya, ia menemui beberapa orang kenalannya dan menginformasikan jenis pekerjaan dan gaji dengan bekerja di Malaysia. Untuk posisi helper, gaji setara dua jutaan rupiah, sedangkan untuk posisi cook (tukang masak), gajinya setara tiga jutaan rupiah. Disamping itu, biaya pengurusan paspor dan transportasi, ditanggung sepenuhnya oleh sang calon majikan.
Tanpa pikir panjang, kedua temannya tersebut salah satunya tamatan STM (23 tahun) jurusan mesin sebagai calon helper, dan seorang lainnya lulusan SMP (30-an tahun) sebagai calon tukang masak, namun telah banyak pengalaman sebagai tukang masak―, tertarik pada penjelasan Peter dan menyambut baik ajakannya untuk bersama-sama bekerja di negeri jiran.
Pendek kata, Peter menemui sang calon majikan di sebuah hotel di kawasan Senen dan menyatakan kesanggupan beserta dua orang rekannya, serta menyampaikan identitas mereka bertiga guna pengurusan paspor. Sekitar tiga-lima bulanan kemudian, setelah pengurusan paspor selesai, atas kerjasama pria asal negeri jiran tersebut dengan “calo” di Jakarta (kawasan Senen), berangkatlah mereka bertiga menuju Kuala Lumpur (KL). Sesampai di bandara KL, sang calon majikan sudah menunggu mereka bertiga. Selanjutnya, mereka bertiga bersama sang calon majikan menuju rumah kediamannya di kawasan KL.
Pada hari pertama mereka bekerja , kepada mereka bertiga sudah disodori kuitansi atas sejumlah biaya proses pengurusan paspor dan biaya transportasi (Jakarta-KL). Kesemuanya itu harus mereka kembalikan melalui pemotongan gaji. Dapat ditebak, mereka bertiga sangat terkejut. Padahal, di Jakarta tidak ada informasi dan perjanjian mengenai hal itu. Kegundahan, kejengkelan, kekesalan mereka bertiga bertambah lagi, sejak hari pertama mereka bekerja, perlakuan tidak humanis juga sudah mereka rasakan, yaitu: sejak buka restoran/kedai jam 09.00 hingga sekitar jam 24.00 waktu setempat, mereka bertiga tidak diperbolehkan duduk. Tidak itu saja, dalam sehari, mereka hanya di beri makan nasi satu kali saja, sekitar jam 15-16-an waktu setempat, itupun tidak diperbolehkan mengambil lauk-pauk, dan hanya dengan kuah saja. Pagi hari, mereka hanya mendapat jatah secangkir teh (manis), sedang malam hari tidak ada jatah makan lagi. Jika, secara sembuyi-sembuyi mereka makan sesuatu, untuk sekedar mengganjal perut, dan majikan mengetahuinya, mereka di maki-maki, dan diancam dipotong gaji. Demikianlah sehari-harinya mereka bekerja, yang pada akhirnya mereka bertiga hanya bertahan sekitar 1,5 bulan bekerja di rumah makan milik majikan tersebut, dan masing-masing mereka, dengan susah payah (hanya) diberi gaji RM. 200 (RM. 200 X Rp. 2.600,- = Rp. 520.000,-) dari janji semula di Jakarta (Indonesia) dua-tiga jutaan rupiah setara RM. 750-an lebih untuk posisi coffe maker dan helper, dan RM. 1.200-an untuk posisi tukang masak.
Akhirnya, mereka bertiga di pagi buta sebelum subuh melarikan diri dengan merangkai sarung dan apa saja yang bisa dirangkai untuk menuruni rumah sang majikan yang bertingkat itu secara bergantian. Kebetulan tetangga dekat Peter bertiga ada seorang pembantu rumah tangga (PRT) asal Indonesia yang menolong mereka. Atas bantuan dan petunjuk PRT itulah Peter dan dua orang rekannya dengan sangat hati-hati (menghindari aparat berwajib setempat) menuju Kantor Perwakilan R.I. (Kedutaan Besar R.I./KBRI) di Kuala Lumpur. Sesampai di sana, mereka bertiga menceritakan kasus yang mereka alami kepada aparat di KBRI. Tetapi, karena di KBRI KL tidak ada shelter untuk menampung TKI laki-laki, mereka bertiga di sarankan ke KJRI di Johor Bahru. Dengan asa yang masih tersisa, dan dengan sangat hati-hati juga, mereka bertiga meninggalkan KBRI KL dan menuju KJRI Johor Bahru. Di KJRI Johor Bahru inilah mereka bertiga untuk beberapa hari tinggal (tidur di ruang istirahat driver KJRI), yang akhirnya dipulangkan ke tanah air melalui Batam/Tanjung Pinang.
2.3 Penanganan Kasus TKI Di Malaysia
Jakarta (ANTARA News) – Pemerintah Indonesia meminta Malaysia mempercepat penanganan hukum terhadap kekerasan yang menimpa TKI di negara tetangga itu , terutama setelah terulangnya penyiksaan terhadap TKI di negara itu beberapa waktu lalu.
Juru Bicara Kepresidenan Dino Pati Djalal di Kantor Kepresidenan, Jakarta, menyatakan Duta Besar Indonesia di Malaysia Da`i Bachtiar telah menyurati Kementerian Luar Negeri dan instansi lain di Malaysia tentang penyiksaan yang dialami TKI di Malaysia, Munti Binti Bani, hingga perempuan asal Jombang itu meninggal dunia pada 26 Oktober 2009.
Dino mengaku telah menelepon Kedutaan Besar Malaysia di Indonesia untuk menyampaikan posisi pemerintah Indonesia yang mengutuk dan menyesalkan pembunuhan Munti.
“ Pemerintah Indonesia menegaskan kembali agar Kepala Polisi Malaysia untuk menginvestigasi. Pemerintah Indonesia mendorong agar kasus ini segera dituntaskan dan pelaku yang diduga majikannya diganjar hukuman yang setimpal,” ujar Dino.
Dino menuturkan Presiden Yudhoyono dan Perdana Menteri Malaysia yang dulu, Abdullah Badawi, pernah mengadakan pertemuan bilateral untuk hanya membahas 18 kasus kekerasan yang menimpa TKI di Malaysia.
Dino mengakui, penanganan hukum kasus kekerasan TKI di Malaysia memang lambat dan bahkan macet karena masalah proses pengadilan di Malaysia. “Itu yang menjadi komplain Presiden, banyak kasus hukumannya ringan dan deadlock karena terlalu bertele. Jadi ada beberapa kasus, masalahnya memang kelambatan di sistem peradilan Malaysia dan ini terus kita dorong,” ujarnya.
Dino menyebutkan kasus yang mengalami kemacetan di antaranya adalah kasus Ceriyati yang belum ada keputusan sejak 2006 serta sidang pemukulan terhadap wasit karate Indonesia, Donald Kolopita, yang seharusnya dimulai pada Agustus 2009 namun ditunda hingga Januari 2010.
Demikian pula dengan kasus Nirmala Bonat yang majikannya sudah dihukum 20 tahun namun eksekusinya harus tertunda karena pelakunya mengajukan banding. Untuk melindungi TKI di Malaysia sebagai tindakan preventif, pmerintah akan terus bernegosiasi dengan Malaysia untuk merevisi moratorium pengiriman TKI ke Malaysia yang saat ini masih dalam tahap finalisasi. “November ini akan ada pertemuan lagi, dan ini akan menjadi agenda penting hubungan antara Indonesia dan Malaysia,” ujarnya.
Pemerintah juga akan terus melindungi TKI di Malaysia melalui tindakan preventif melalui unit khusus antar departemen di Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia.
Meski demikian, Dino mengatakan, Indonesia tetap menghargai sikap Malaysia yang menyatakan akan mengusut tuntas semua kasus penyiksaan TKI di Malaysia dan berjanji akan melindungi warga negara Indonesia sebagaimana warga mereka sendiri.
Berdasarkan hasil diskusi mengenai permasalahan TKI dengan institute terkait di Malaysia , Sesuai rencana pada trip 1, penelitian ini fokus pada kelembagaan, yang meliputi: Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) dan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI), Non Goverment Organization (NGO)/Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan Perguruan Tinggi. Dari NGO/LSM di Kuala Lumpur, ditemui satu NGO/LSM, yakni Migrant Care, Mr. Alex Ong, secara individual berupaya menangani masalah pekerja migran terutama TKI bermasalah. Unsur perguruan tinggi di Kuala Lumpur yang dapat ditemui adalah Prof. Azizah Kasim dari Institut Kajian Malaysia dan Antar Bangsa (IKMA), Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM). Dalam kunjungan ke UKM tersebut tim peneliti juga sempat wawancara dengan Darul Amin, seorang pengamat pekerja migran di Malaysia.
Di KBRI Kuala Lumpur, saat ini telah dibentuk Tim Satuan Tugas (Satgas) Perlindungan dan Pelayanan Warga Negara Indonesia (PPWNI) berdasarkan SK Kepala Perwakilan RI untuk Malaysia No. 02/SK-DB/I/2006 tanggal 9 Januari 2006. Anggotanya meliputi elemen struktur KBRI yakni:
a)      Fungsi Protokol dan Konsuler
b)      Fungsi Sosial Budaya dan Penerangan
c)      Fungsi Penerangan
d)     Atase Imigrasi
e)      Atase Ketenagakerjaan
f)       Atase Pendidikan
g)      Atase Perhubungan
h)      Atase Riset (BIN)
i)        SLO POLRI


Tujuan Satgas adalah:
1)       meningkatkan upaya perlindungan secara maksimal bagi seluruh WNI/TKI yang berada di wilayah akreditasi KBRI Kuala Lumpur
2)      meningkatkan upaya dan bentuk pelayanan WNI/TKI dan Badan Hukum Indonesia (BHI) yang bermasalah
3)      Upaya-upaya yang dilakukan Satgas PPWNI meliputi, Penampungan sementara di KBRI Kuala Lumpur, khususnya perempuan, Penanganan kasus yang menimpa WNI/TKI, Kegiatan outreach di kantong-kantong TKI di berbagai daerah di Indonesia, Kegiatan penyuluhan dan pelayanan publik di daerah konsentrasi TKI, Pendataan dan pendampingan bagi WNI yang menghadapi masalah hukum, Peluncuran awarness campaign melalui berbagai media masa, Peningkatan jejaring kerja dan pertemuan reguler dengan instansi terkait di dalam negeri dan Malaysia, Pelayanan pengaduan melalui SMS 33044 4.
Dalam mewujudkan upaya dimaksud, pihak KBRI melibatkan organisasi Dharma Wanita, Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia yang ada di Malaysia. Selain itu juga melibatkan NGO/LSM (Migrant Care dan IOM ) .
Saat dilakukan studi ini (5 Juni 2007), shelter KBRI menampung 71 orang TKI (Wanita) bermasalah yang berasal dari berbagai wilayah Indonesia, dan tidak ada sarana penampungan bagi TKI Pria bermasalah. Meskipun demikian, dalam upaya melindungi mereka dari tindakan aparat pemerintah Malaysia, pihak KBRI memberikan surat keterangan, bahwa TKI yang bersangkutan dalam pengawasan KBRI Kuala Lumpur.
Hasil observasi secara umum tim peneliti terhadap TKI di Shelter menunjukkan, kondisi mereka: lesu, stress, takut, curiga, dan lain-lain. Hal tersebut dikuatkan pihak KBRI, memang terdapat TKI di shelter mengalami kondisi tersebut, bahkan terdapat beberapa orang TKI bermasalah yang diindikasikan mengalami gangguan jiwa dan penyimpangan perilaku.
Dalam kasus-kasus seperti tersebut itu, pihak KBRI sering mengalami kesulitan karena tenaga yang ada tidak mempunyai bekal pengetahuan dan keterampilan dalam menangani masalah sosial psikologis. Untuk mengatasi kendala tersebut, pihak KBRI merekrut relawan (dari perguruan tinggi setempat).
Kasus-kasus menonjol yang menimpa TKI adalah: gaji tidak dibayar, tindak kekerasan/penganiyaan, pelecehan seksual/perkosaan, dan bahkan dijadikan pekerja seks komersial (PSK). Pada umumnya, para TKI bermasalah di shelter tersebut berharap agar kasus mereka segera selesai dan segera pulang ke tanah air.
Ada kecemasan pada diri TKI bermasalah, terkait:apakah masalah mereka bisa segera selesai dan atau dapat dimenangkan oleh TKI dan tidak adanya kepastian waktu penyelesaian masalah. Pengalaman menunjukkan, bahwa waktu penyelesaian kasus sangat tergantung pada cepat atau tidaknya hasil musyawarah kesepakatan antara majikan dan agency dengan TKI yang bersangkutan. Pada kasus-kasus yang diselesaikan melalui proses pengadilan ada kecenderungan memerlukan waktu yang cukup lama dan tidak adanya kepastian.
Khusus permasalahan TKI  korban traficking dilaksanakan melalui kerjasama dengan IOM dengan kegiatan konseling dan bantuan pemulangan ke tanah air. Penanganan oleh IOM ini dalam tahun 2007 akan segera berakhir. Untuk itu, dimungkinkan Departemen Sosial R.I. (Depsos) mengambil peran khususnya dalam hal pemulangan TKI dari Malaysia ke tanah air.
Dalam permasalahan TKI ini terdapat perbedaan cara pandang pemerintah Indonesia dan Malaysia, dimana Malaysia memandang permasalahan TKI dari sudut keimigrasian semata, sementara Indonesia disamping keimigrasian juga melihat pendekatan ketenagakerjaan (perburuhan).
Pada akhirnya pihak KBRI berharap ada program dan kegiatan Depsos yang dapat diakses WNI/TKI dalam upaya perlindungan dan pelayanan WNI/TKI bermasalah, sejak berada di Malaysia sampai pemulangan ke tanah air dan penanganan di daerah asal TKI. Misalnya, beaya pemulangan TKI bermasalah dari Malaysia ke tanah air, penyuluhan sosial, dan pemberdayaan TKI di daerah asal. NGO/LSM:
a)      Menurut Alex Ong (Migrant Care), setiap hari rata-rata terjadi kasus TKI lari dari majikan sebanyak 82 orang. Yang berarti setiap hari ada 82 orang TKI yang kehilangan dokumen resmi dan menjadi TKI ilegal.
b)      Alex Ong membantu permasalahan TKI terutama yang berada di luar shelter dan belum ditangani oleh KBRI. Upaya yang dilakukan antara lain dengan membantu TKI dalam pelayanan konseling, advokasi, dengan kerjasama dengan KBRI.
c)      Alex Ong juga membangun image kepada Parlemen Malaysia tentang dampak yang muncul bila permasalahan migran tidak tertangani.
d)     Alex Ong bergerak atas dukungan Partai PAS (Partai Islam se Malaysia), sedangkan dana untuk kegiatan operasional berasal dari perorangan baik dari pengurus maupun pihak lain yang tidak mengikat.
e)      Alex Ong mengharapkan agar mekanisme infrastruktur kedua negara bisa diperbaiki, tidak hanya dipahami oleh penentu kebijakan, tetapi harus sampai pada level TKI, dan membangun capacity building. Menurut pimpinan IKMA–UKM, Prof. Azizah Kasim, banyak hasil penelitian/kajian tentang pekerja migran oleh perguruan tinggi di Malaysia, dan telah disampaikan ke pihak kerajaan. Hal ini diharapkan agar dapat mempengaruhi dalam pengambilan kebijakan. Namun demikian pengaruh dari hasil penelitian/kajian terhadap kebijakan pemerintah bukan lagi menjadi tanggung jawab perguruan tinggi. Ada beberapa kasus migran ilegal yang teridentifikasi oleh perguruan tinggi, antara lain, masuk sebagai pelancong, sebagai mahasiswa, masuk tanpa dokumen, menggunakan dokumen palsu, dan menggunakan dokumen orang yang sudah meninggal. Penanganan TKI mulai dari daerah asal harus terintegrasi antar lembaga pemerintah dan penyalur TKI (Pengerah Jasa Tenaga Kerja Indonesia/PJTKI). Sementara ini, dinilai kurang adanya kontrol dari pemerintah Indonesia untuk melihat perkembangan TKI. Terkait dengan hal itu disarankan perlu adanya suatu lembaga yang bertugas mengontrol keberadaan TKI di Malaysia.Seorang pengamat TKI menyebutkan, dalam penanganan masalah TKI, yang utama adalah bagaimana kita berupaya memberdayakan (empowerment) TKI. Dengan demikian diharapkan eks TKI tidak lagi menjadi TKI, namun mampu mengembangkan usaha di daerahnya dengan modal yang diperoleh dari hasil kerja di luar negeri. Bila perlu eks TKI dengan bekal pengalaman, pengetahuan dan keterampilan dari perusahaan tempat kerja, dikemudian hari bisa menjadi vendor dari perusahaan yang bersangkutan. Probability, dimungkinkan adanya pusat informasi migran (Migrant Centre Information), baik di Indonesia maupun di Malaysia, sehingga penanganan migran lebih obyektif dan fokus. Rekruitmen pekerja migran dimungkinkan ditangani melalui Goverment to Govermnet (G to G) antara Indonesia dan malaysia, tidak melibatkan agen seperti saat ini, dan atau “family net working”, seperti yang selama ini terjadi di lingkungan migran asal Bawean (Komunitas Madura -orang Malaysia umumnya menyebut “Boyan”-).
2.4 Implikasi Pelanggaran HAM Amerika Serikat Di Irak
Sangat tepat, pernyataan Departemen Luar Negeri RI melalui juru bicaranya, Marty Natalegawa, 21 Mei lalu, bahwa Amerika Serikat secara moral tak lagi memiliki hak untuk menilai pelaksanaan hak-hak asasi manusia di negara lain.Pernyataan Departemen Luar Negeri itu mengacu pada mencuatnya skandal penyiksaan dan pelecehan seksual yang dilakukan tentara AS di penjara Abu Ghraib, Irak. Presiden AS George Walker Bush dengan susah payah membela diri dengan mengatakan, apa yang dilakukan tentaranya di Irak tidak mewakili perilaku bangsa AS secara keseluruhan.Bagaimana AS dapat mengklaim diri sedang memerangi
terorisme jika tentaranya di Irak dan Afghanistan membunuh warga sipil  dan merusak tempat-tempat suci keagamaan? AS mendukung penguasa Israel yang tak henti membantai warga Palestina. Terbunuhnya 40 warga sipil Irak (yang sedang merayakan pesta
pernikahan) oleh pasukan pendudukan AS dan terbunuhnya 45 warga sipil
Palestina oleh tentara pendudukan Israel baru-baru ini hanya merupakan
bagian bentuk terorisme negara yang secara sistematis dilakukan AS dan
Israel. Begitu pula jika AS benar-benar hendak memerangi
terorisme, seharusnya mereka tidak mempraktikkan politik teror dan
teror politik atas warga sipil Irak serta tak lagi mendukung penuh
terorisme negara Israel di bawah PM Ariel Sharon. Apa yang dilakukan penguasa Israel terhadap warga Palestina serta yang dilakukan tentara pendudukan AS terhadap warga sipil Irak pada
hakikatnya tak lebih dari menanamkan benih-benih terorisme, bahkan mengembang-biakkan terorisme. Setelah Spanyol (salah satu sekutu AS di Eropa) menarik dukungannya atas pendudukan AS di Irak, Pemerintah Inggris di bawah PM Tony Blair-yang selama ini dikenal pendukung setia Bush-menghadapi tekanan dari dalam negeri agar menjaga jarak dengan AS.Tak hanya dari sejumlah pemimpin negara lain yang sebelumnya mendukung politik AS di Irak, tetapi juga dari kalangan tokoh-tokoh Irak sendiri yang sebelumnya mendukung penggulingan rezim Saddam Hussein. Begitu pula popularitas Bush di dalam negeri AS sendiri yang cenderung merosot. Jajak pendapat terakhir menunjukkan hanya 42 persen warga AS yang masih mendukung politik Bush di Irak. Terjalinnya persekutuan antara kaum Syiah dan Sunni
Irak serta pembangkangan yang dilakukan tokoh penting Irak pro-AS, Ahmad Chalabi, atas pasukan pendudukan AS menunjukkan betapa makin
meningkatnya ketidakpuasan rakyat Irak terhadap kebijakan Bush di Irak.
Apalagi keganasan tentara AS kian membabi buta, mengabaikan tempat-
tempat suci agama Islam Syiah di Irak, seperti serangan yang dilakukan
terhadap sejumlah masjid di kota-kota suci Najaf dan Karbala serta
makam Imam Ali.
Invasi AS ke Irak yang semula bertujuan “mulia” (menghancurkan senjata
pemusnah massal, membebaskan rakyat Irak dari rezim tiran, membasmi
terorisme, dan membangun sistem demokrasi di Irak) dalam realitasnya
justru terbalik.
Setelah invasi dan pendudukan AS berkepanjangan, bangsa dan rakyat Irak
kini dihadapkan kehancuran infrastruktur sosial-ekonomi yang luar biasa. Idealnya, penyelesaian tuntas atas tragedi Irak harus dilakukan melalui sebuah konferensi internasional yang disponsori PBB dengan melibatkan seluruh elemen di dalam negeri Irak, negara-negara
tetangga Irak, anggota tetap dan tidak tetap Dewan Keamanan PBB, serta pihak-pihak yang berkepentingan dengan stabilitas dan pembangunan politik, sosial, dan ekonomi di Irak, seperti Liga Arab, G-7, OKI, dan Gerakan Nonblok. Bush tak punya banyak pilihan, kecuali jika sekadar meraih kemenangan dalam pemilu AS, 4 November mendatang.
2.5 Peran Perwakilan Ri Dalam Penanganan TKI Bermasalah
Sebagai salah satu tugas dan fungsi Perwakilan RI di luar negeri adalah memberikan bantuan dan pelayanan kepada WNI, termasuk tenaga kerja, yang sedang tertimpa musibah. Dalam kaitan ini, di beberapa Perwakilan yang mempunyai TKI cukup besar telah dibentuk Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan WNI (Satgas PPWNI) yang salah satunya berada di Kuala Lumpur, Malaysia.
Dalam penanganan kasus selama bulan September-Oktober 2007 terhadap TKI yang bermasalah di Malaysia, Satgas PPWNI telah berhasil menyelesaikan 55 kasus yang terdiri dari 44 kasus gaji tidak dibayar, 1 kasus penganiayaan, 1 kasus pelecehan seksual dan 9 kasus lainnya. Dalam proses penyelesaian, Satgas PPWNI melaukan beberapa langkah yaitu berupa pemanggilan majikan dan agen dari TKI yang bermasalah ataupun melakukan penyerbuan ke rumah atau kantor agen. Dengan langkah tersebut, maka gaji dan kompensasi yang berhasil didapatkan adalah RM 140.909,1 atau setar Rp. 398.884.809,00.
Dalam prosedur penyelesaian TKI bermasalah selanjutnya, maka Satgas PPWNI juga melakukan upaya pemulangan ke tempat asal masing-masing TKI. Dalam periode tersebut jumlah TKI yang dipulangkan kembali sebanyak 109 orang dan 2 bayi. Dalam proses pemulangan ini, Satgas PPWNI juga menjalin kerjasama dengan LSM International Organization on Migration (IOM) disamping juga meminta tanggung jawab dari agen TKA yang ada di Malaysia maupun tidak sedikit juga yang menggunakan dana KBRI.
Mencermati makin banyaknya kasus TKI yang mempunyai kasus di Malaysia khususnya dan beberapa negara lain yang banyak menerima TKI, maka Satgas PPWNI berupaya untuk melakukan upaya pencegahan dan pendidikan publik kepada TKI agar kiranya dapat terhindar dari kemungkinan masalah yang dapat menimpa mereka. Sejauh ini, Satgas PPWNI KBRI Kuala Lumpur telah secara aktif melakukan kampanye kesadaran kepada TKI tentang hak dan kewajiban sebagai tenaga kerja asing di Malaysia. Bekerjasama dengani berbagai instansi di Indonesia juga selalu ditekankan agar kiranya kepada calon TKI yang akan berangkat ke luar negeri agar memperhatikan kontrak kerja yang akan ditandatangani serta selalu membina hubungan dengan Perwakilan RI terdekat sehingga jika mengalami masalah akan dengan cepat dapat ditangani secara baik.
2.6 Penanganan Kasus Pembunuhan TKW di Kuwait
Kalangan pelaksana penempatan TKI swasta (PPTKIS) mempertanyakan tewasnya seorang TKI asal Cirebon yang diduga kuat dibunuh oleh majikannya di Kuwait.
“Jenazah telah dimakamkan di sana tanpa sepengetahuan KBRI di Kuwait,” kata Ketua Himpunan Pengusaha Jasa TKI (Himsataki) Yunus M Yamani dalam siaran persnya di Jakarta.
Yunus mendapat sejumlah pertanyaan dari kalangan PJTKI tentang kasus ini. Berdasarkan informasi yang diterimanya, pada 25 April 2009, PT Bidar Timur (BT) mendapat informasi dari mitra kerjanya, Fadel Muhammad Abbas Al-Sharaf Manpower bahwa TKI bernama Royati binti Dakina Karsida, asal Cirebon, Jabar, telah meninggal dunia. PT BT mempertanyakan kebenaran berita tersebut ke KBRI di Kuwait melalui Atase Ketenagakerjaan, Wisantoro.
Pada 4 Mei 2009, PT BT mendapat informasi melalui faksimili dari KBRI Kuwait yang ditujukan kepada Menteri Luar negeri u.p. Dir. Perlindungan WNI dan BHI dengan No.13B/03/KUWAIT/V/2009 yang isinya menyatakan bahwa betul TKI atas nama Royati telah dibunuh oleh majikannya sendiri.
KBRI menyatakan pihaknya tidak diberitau secara resmi oleh pemerintah Kuwait tentang pembunuhan tersebut dan proses pemakamannya. Keluarga TKI yang mengetahui peristiwa itu merasa sedih dan meminta agar jenazah Royati dipulangkan ke Indonesia. KBRI, kata Yunus, menolak penggalian kembali mayat tersebut karena hal itu tabu di Kuwait.
KBRI, kata Yunus, dalam suratnya menawarkan uang diyat sebesar 11.500 Kuwait Dinar (KD) dan membebankan biaya pemberitahuan, mencari informasi, kematian serta pengeluaran biaya penguburan kepada PT BT dengan dalih tanggung jawab PPTKIS sesuai Pasal 73 ayat 2 UU No. 39 tahun 2004.
Sementara, KBRI hanya bertugas melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan perlindungan TKI sesuai Pasal 39 ayat 2 UU No.39/2004. “Kami menyesalkan tewasnya Royati dan menuntut keadilan atas kematian tersebut. Kami ingin pelaku pembunuhan dihukum seberat-beratnya agar memberi efek jera kepada majikan lainnya,” kata Yunus.
Dia juga menyayangkan lambannya kinerja KBRI Kuwait dan tidak adanya respon balik dari Deplu, Depnakertrans dan BNP2TKI atas kasus itu.
Yunus juga menjelaskan bahwa pasal 73 ayat 2 UU No.39/2004 yang dikutip dalam surat dari KBRI Kuwait, seharusnya beban tersebut menjadi tanggung jawab majikan yang membunuh atau konsorsium asuransi perlindungan TKI.
Dia juga mengoreksi, bahwa Pasal 39 UU No.39/2004 hanya memiliki satu ayat yang berbunyi segala biaya yang diperlukan dalam kegiatan perekrutan CTKI dibebankan dan menjadi tanggung jawab PPTKIS. “Tidak ada kata-kata bahwa tugas KBRI hanya melakukan pengawasan terhadap PPTKIS yang termaktub dalam ayat 2,” kata Yunus.
Menurut dia, jika kata-kata itu tercantum maka akan bertentangan dengan UU Perlindungan WNI dan BHI karena Deplu dan KBRI wajib melindungi WNI selama berada di luar negeri.
Yunus berharap agar kasus tewasnya Royati diusut tuntas dan dia mengimbau penempatan TKI ke Kuwait dihentikan selama proses pengusutan berlangsung agar menjadi perhatian bagi pemerintah Kerajaan Kuwait.
2.8  Penananganan Kasus Pelanggaran HAM di Nigeria
Pengadilan New York akan dihadapkan pada kasus terbesar dalam soal pertangunggjawaban perusahaan. Sejak Rabu mendatang, pengadilan akan memulai proses perusahaan Royal Dutch Shell–perusahaan yang mendominasi sektor perminyakan Nigeria dalam beberapa dasawarsa terakhir–yang didakwa meminta bantuan junta militer Nigeria untuk membungkam aktivis hak-hak asasi manusia Saro Wiwa. Shell yang menyangkal keras tuduhan tersebut, juga didakwa membiayai tentara yang melakukan pelanggaran hak-hak asasi manusia secara besar-besaran di wilayah kaya minyak Delta Niger. Perusahaan minyak Royal Dutch Shell memulai produksi minyaknya di Delta Niger pada 1958. Pencemaran minyak dan gas, penebangan hutan, merusak sumber alam di Delta dan menghancurkan pertanian dan penangkapan ikan yang merupakan dasar penghasilan rakyat asli Ogoni. Namun protes terhadap penekanan dan ekspolitasi baru dimulai pada awal 90 – an. Antara tahun 1990 dan 1995, tentara Nigeria melakukan tindakan brutal dan besar-besaran untuk membungkam gerakan protes yang semakin meningkat. Banyak di antara desa-desa di Ogoni dibakar dan pemimpinnya dijebloskan ke penjara. Shell dinyatakan mendukung tindakan tersebut. Pelanggaran kemanusiaan terhadap rakyat Ogoni mencapai puncaknya pada 10 November 1995. Sembilan orang dieksekusi oleh diktatur Nigeria saat itu Sani Abacha, setelah didakwa melakukan pembunuhan dan diadili oleh tribunal militer yang sengaja didirikan untuk tujuan itu. Di antara pemimpin Ogoni saat itu yang paling terkenal adalah Ken Saro Wiwa (1941-1995). Ia dikenal sebagai penentang yang sering melontarkan kritik terhadap pengoperasian Shell di Nigeria. Gerakan untuk Perjuangan Rakyat Ogoni MOSOP, yang dipimpinnya mewakili rakyat Delta yang paling terkena dampak dari kegiatan Shell. Saro Wiwa menuduh Shell mendukung penekanan pemerntah Nigeria terhadap rakyat Ogoni serta penyiksaan terhadap pemimpinnya. Mereka juga mengatakan bahwa Shell khawatir bahwa protes akan menganggu kegiatan mereka dan menodai citra mereka di luar negeri. Mereka menuduh Shell menyingkirkan kekhawatiran itu dengan melakukan kampanye sistematis pelanggaran hak-hak asasi manusia. Shell menyangkal tuduhan pembungkaman Saro Wisa, bahkan sebaliknya mengatakan: berupaya membujuk pemerintah untuk memberikan grasi.
Pengacara hak-hak asasi manusia Amerika mencoba menyeret Shell ke pengadilan untuk dimintai pertanggungjawabannya atas pelanggaran hak-hak asasi manusia di Nigeria, termasuk di antaranya sejumlah eksekusi, kejahatan terhadap kemanusiaan dan penyiksaan. Namun upaya itu membutuhkan waktu bertahun-tahun sebelum akhirnya kasus ini dapat diseret ke pengadilan. Pengadilan yang akan berlangsung pekan ini digelar berdasarkan UU 1789 yang dapat menyeret seorang warga Negara non Amerka untuk dituntut di pengadilan Amerika dengan dakwaan kejahatan terhadap kemanusiaan, tanpa peduli di mana kejahatan itu terjadi. Dakwaan yang dilakukan terhadap perusahaan minyak terbesar di dunia atas kejahatan yang dilakukan di negara berkembang bukanlah yang pertama kali. Chevron terancam harus membayar 27 milyar dollar atas dakwaan melakukan pencemaran hutan dan Exxon Mobil dituntut oleh penduduk desa di Aceh utara yang menuduh perusahaan tersebut menyewa tentara menjaga sumber gas dan melakukan pelanggaran terhadap kemanusiaan.
Dalam kasus lainnya, empat warga Nigeria, nelayan dan petani di Delta Niger, mewakili desanya di pengadilan Belanda. Mereka menuduh Shell merusak sumber penghasilan mereka dan menyatakan Shell tidak mematuhi standard internasional mengenai pengelolaan minyak yang benar. Liesbeth Zegveld, pembela keempat warga Nigeria itu, meminta markas besar Shell bulan Mei lalu memberikan penjelasan peran perusahaan itu dalam pencemaran minyak minyak di Nigeria. Sementara itu perusahaan itu mengatakan Nigeria lah yang bertanggungjawab atas kejadian tersebut.

2.9 Kasus Pelanggaran HAM yang terjadi di Tibet

Sejumlah organisasi masyarakat sipil di Jakarta mengutuk kekerasan yang terjadi di Lhasa Tibet. Baginya China tidak layak menggelar Olimpiade jika kondisi HAM-nya masih buruk. Insiden kekerasan yang terjadi di Lhasa, Tibet pada pekan lalu yang menewaskan ratusan jiwa manusia tak berdosa adalah sebuah pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat. Karena itu, penguasa China harus segera membebaskan rakyat Tibet dari segala bentuk penindasan sebelum pelaksanaan Olimpiade Beijing 2008. Komunitas internasional dan para pemimpin dunia juga didesak untuk segera menekan rejim komunis China supaya memperbaiki catatan HAM-nya yang buruk di Tibet maupun di Daratan China.
Demikian pernyataan sikap yang dikeluarkan oleh Masyarakat Indonesia Untuk Pembebasan Tibet yang menggelar aksi solidaritas di Depan Kedubes China Jakarta pada Rabu (19/3). Aksi damai ini diikuti oleh sekitar 50 orang yang terdiri dari sejumlah lembaga antara lain dari Yayasan Atap Dunia, Solidamor, The Coalition to Investigate the Persecution of Falun Gong (CIPFG) perwakilan Indonesia LBH Jakarta, Hikmah Budhi, Pemuda PGI dll.
Dalam aksi ini, perwakilan sejumlah lembaga memberikan kecamannya atas kekerasan yang masih terjadi di Tibet. Mereka menganggap pemerintah China tidak layak menyelenggarakan Olimpiade karena tindakannya yang semakin represif menjelang Olimpiade. “Kalau kondisi HAM di China semakin buruk, kita harus menolak pesta olah raga dunia itu dilangsungkan di China,” tandas Muhammad Gatot, Perwakilan CIPFG Indonesia.
Menurut Masyarakat Indonesia Untuk Kebebasan Tibet, sikap tersebut perlu dilakukan mengingat sejak 1959, rakyat Tibet berada di bawah pendudukan rejim Beijing. Sebelumnya ribuan rakyat dan biksu tewas dalam peristiwa pengambilalihan wilayah ini. Tempat-tempat ibadah banyak yang dirusak. Sebagian besar tokoh Tibetan masih meringkuk di tahanan. Rakyat Tibet diperlakukan sebagai warga negara kelas dua. Budaya setempat dihancurkan—pemimpin spiritual Dalai Lama menyebutnya sebagai ‘genosida budaya’.
Pahitnya keadaan ini tak menyurutkan perjuangan Dalai Lama dan para pengikutnya di Dharamsala, India untuk menuntut otonomi lebih luas, serta membebaskan rakyat Tibet dari cengkraman militer China. Disebutkan, tindakan represif justru semakin intensif dilakukan oleh penguasa China menjelang dilangsungkannya Olimpiade Beijing 2008. Tekanan terhadap kegiatan keagamaan di kuil Tibet semakin meningkat sejak akhir 20007 lalu. Selain Tibet, sasaran tembaknya adalah kelompok-kelompok yang dianggapnya potensial menggagalkan pesta olah raga dunia itu. Mereka adalah aktivis HAM dan lingkungan, pengacara pembela rakyat yang tergusur, pengikut Falun Gong, penganut Kristen-Katolik, muslim Uighur.
Apa yang terjadi di Tibet, semakin memperburuk catatan hak asasi manusia di China yang sebentar lagi akan menggelar Olimpiade. “Di luar itu, penguasa China juga terbukti melakukan pelanggaran HAM berat terhadap rakyatnya yang menuntut kebebasan berkeyakinan (pluralisme) dan demokrasi,” demikian bunyi siaran pers mereka. Sebagai contoh, kasus pengambilan organ tubuh praktisi Falun Gong dalam keadaan hidup di kamp-kamp konsentrasi China yang sempat menjadi perhatian dunia, dimana sampai sekarang masih terjadi.
Merujuk pada laporan Amnesty International pada tahun 2007 ditunjukan adanya peningkatan pelanggaran HAM di negeri Tirai Bambu ini. “Itu berarti penguasa China telah mengingkari janjinya pada tahun 2001 untuk memperbaiki kondisi HAM-nya jika terpilih menjadi tuan rumah Olimpiade. Piagam Olimpiade yang memberi penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan dan perdamaian telah dilanggarnya.
Berdasarkan kenyataan tersebut, mereka mengutuk tindakan represif yang dilakukan oleh aparat keamanan China terhadap rakyat Tibet yang mengadakan aksi damai, yang telah menelan korban ratusan orang. Mereka juga mendesak kepada Komisi HAM PBB dan organisasi hak asasi internasional lainnya agar melakukan penyelidikan independen atas kerusuhan yang terjadi di Lhasa. Selain itu, mendesak kepada penguasa China untuk segera mengakhiri kekerasan di Tibet, serta bentuk pelanggaran HAM lain yang terjadi di China selama ini.
Tak ketinggalan, mereka juga menyerukan kepada para pemimpin dunia termasuk pemerintah Indonesia, dan Panitia Olimpiade internasional untuk menggunakan pengaruhnya– menekan penguasa China supaya segera memperbaiki keadaan HAM-nya yang buruk. Mereka mengajak masyarakat Indonesia dan komunitas internasional untuk memberikan solidaritasnya terhadap para korban pelanggaran HAM yang terjadi di Tibet dan China.
Berlanjut dan meluasnya protes antiCina mengenai masalah Tibet, memberi satu indikasi penting bahwa dunia internasional harus menaruh perhatian serius. Sebab, hingga pekan di awal bulan ini, demonstrasi anti Cina sudah meluas ke beberapa negara dan juga belum berhenti. Malah menjadi sebuah momentum yang makin besar terutama setelah isyu Tibet ini dikaitkan dengan boikot Olimpiade Cina 2008.
Surat kabar memberitakan, sejumlah aktivis Tibet antarnegara merancang sebuah obor perdamaian, sebagai tandingan dan mengaraknya ke sejumlah negara yang juga menjadi rute obor olimpiade. Tentu saja usaha tersebut adalah bagian dari kampanye internasional masyarakat Tibet yang mencoba mencari simpati dunia. Terdapat beberapa alasan penting untuk itu. Tetapi yang paling signifikan adalah sikap ambivalensi Barat yang ’’masa bodo’’ terhadap pelanggaran HAM di Tibet.
Pada saat ini, kemerdekaan sudah menjadi bagian dari hak azasi manusia. Penindasan, dalam bentuk apa pun, merupakan pelanggaran atas nilai-nilai universal HAM. Kesadaran politik masyarakat dunia juga sudah semakin mengglobal. Isu dan usaha penegakan HAM sudah tidak lagi bersifat personal atau eksklusif tetapi menjadi perjuangan bersama.
Pada waktu Cina menduduki Tibet di tahun 50-an, hingga sekarang, pelenggaran-pelenggaran berat HAM oleh aparat militer Cina dalam memberangus gerakan perlawanan Tibet, sudah bukan rahasia umum lagi. Ribuan bahkan jutaan nyawa sudah melayang dalam berbagai serbuan dan tindakan militer terhadap para pembangkang. Bahkan dalam kejadian yang berlangsung bulan lalu, sejumlah pemrotes Tibet, kembali mati sia-sia di tangan militer Cina yang menghadapi mereka dengan kekerasan.Yang menjadi pertanyaan kita adalah, ketika masalah pelanggaran HAM seperti ini terjadi di negara dunia ketiga yang amat bergantung pada Barat dan Eropa, maka dalam hitungan dua puluh empat jam, kejadian tersebut sudah menjadi milik dunia dan menimbulkan reaksi politik cukup besar. Masih ingat insiden penembakan di Liquisa Timor Timur yang menimbulkan korban jiwa? Indonesia berada di dalam tekanan politik yang sangat besar. Sekarang, mari kita bandingkan. Dari segi isu, strategi dan korban, apa yang berlangsung puluhan tahun di Cina, justru tidak tersentuh sama sekali oleh Barat. Terlihat sangat tidak adil menyaksikan tanggapan Barat dan Eropa yang seolah menutup mata atas sejumlah pelanggaran HAM berat di negara bambu kuning tersebut. Mengapa? Cina adalah sebuah negara yang sedang tumbuh menjadi sebuah raksasa ekonomi di dalam banyak hal.
Coba kita pergi jalan-jalan ke pasar. Mulai dari pasar kaki lima hingga ke super market atau hyper market. Kita akan dengan mudah menjumpai produk- produk yang made in China. Barang-barang milik negara ini ada di mana-mana dan murah. Mulai dari hal-hal sederhana hingga teknologi tinggi, China sudah tampil sebagai sebuah kekuatan yang tak tertandingi, yang jika diusik secara politik, pasti akan membawa perubahan tatanan global.
Beberapa waktu lalu, Amerika Serikat sempat gusar karena terjadi ketidakseimbangan neraca dagang dengan China. Barang-barang China lebih banyak masuk ke negara itu sehingga ’’mematikan’’ pengusaha dalam negeri. Itu sebabnya beberapa waktu lalu muncul sebuah black campaign terhadap produk China yang dihembuskan oleh Barat, bahwa produk- produk tersebut menggunakan zat-zat beracun yang sangat berbahaya. Tetapi toh semua itu tidak menghambat ekspansi pemasaran berbagai produk China ke dunia internasional. Seolah-olah, negara ini sedang mempraktikkan salah satu filosofi China yang sangat terkenal yakni, jika hendak menguasai sebuah negara, maka kuasailah ekonominya.
China memang sedang tumbuh besar menjadi negara adidaya baru yang dapat menyalip hegemoni Barat. Kekuatan ekonomi China semakin lama semakin kokoh. Anggaran belanja negaranya sangat besar dan terjamin. Kemampuan militer dan persenjataannya juga semakin dahsyat tetapi tersembunyi. China adalah sebuah raksasa yang sedang menggeliat.
Dalam kancah politik internasional pun, kita menyaksikan bagaimana China mampu mengimbangi politik global yang dikotomi antara demokratis vs komunis menjadi Amerika Eropa vs Asia (baca: China). Delegasi- delegasi China di PBB menjadi pemain baru yang patut diperhitungkan negara-negara Barat. Dengan demikian, China menjadi sebuah negara yang susah diatur atau didikte.
Hal inilah yang kemudian menjadikan negara-negara pejuang HAM kelas berat seperti Amerika Serikat dan Eropa, tidak mampu menekan China dengan kebijakan politik atau ekonomi dan menghasilkan sikap ambivalensi. Justru sebaliknya, China dapat setiap saat mengguncang ekonomi Barat. Salah satu contoh terkini adalah seruan Presiden Perancis Sarkozy untuk memboikot Olimpiade China, tidak mendapat tanggapan serius dari kolega-koleganya di Barat.
Satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah Tibet adalah menjadikannya sebagai isu internasional dan membawa masalah ini sebagai masalah antar-bangsa. Bukan lagi sekadar masalah dalam negeri China seperti yang selama ini didengungdengungkan oleh pemerintah China di kancah internasional. Perhatian dunia yang lebih serius harus tertuju ke sana. Jika tidak, maka pelanggaran HAM yang lebih berat akan terus terjadi.
Aneksasi China di Tibet harus diakhiri dan pemerintahan di wilayah itu harus dikembalikan ke dalam situasi seperti sebelum tahun 1951. Sekalipun tetap menjadi wilayah otonomi khusus China, pemerintah negara tirai bambu ini harus membiarkan Tibet sebagai negara atap dunia yang unik dan khas, dalam pemerintahan sipil Dalai Lama. Seperti Aceh di negara kita, diberikan otonomi khusus dengan hak-hak istimewa yang berbeda dari propinsi lain, karena kekhasannya.
Tekanan internasional harus diarahkan kepada pemerintah China. Bukan justru sebaliknya menangkapi para pemrotes Tibet atau memenjarakan mereka atas permintaan pemerintah China. Tokoh-tokoh negara tirai bambu ini harus ditekan dan didesak oleh kekuatan politik dunia untuk duduk membicarakan masalah ini dalam jalur politik.
Sebuah solusi yang selama ini dihindari oleh China, terutama jika mereka harus duduk semeja dengan Dalai Lama. Soalnya, dengan duduk di meja perundingan, maka mau tidak mau China akan mengakui keberadaan Dalai Lama di hadapan dunia, sesuatu yang tidak dikehendaki China selama ini, sama seperti sikap mereka pada Taiwan. Tapi itulah China, seperti anak yang keras kepala. Hanya mau tunduk jika dipukul pantatnya.
Barat dan Eropa, terutama Amerika Serikat, harus memotori pertemuan ini. Tidak melulu campur tangan di wilayah Timur Tengah. Sambil menunggu keputusan-keputusan politik, maka wilayah Tibet dapat dinyatakan sebagai status quo internasional dengan penempatan pasukan atau pengawas perdamaian. Seruan Presiden Perancis Sarkozy sepertinya sebuah ide yang sangat menarik. isu Olimpiade ini dapat dijadikan batu pijakan untuk memaksa China duduk di meja perundingan dengan Dalai Lama, pengikutnya dan negara-negara Barat pejuang HAM. Jika tidak, maka angkatan muda Tibet, yang paradigma politiknya berbeda dengan para pendahulunya, dapat melakukan hal-hal yang akan mengejutkan kita semua









BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah diuraikan, maka  penulis dapat memaparkan beberapa kesimpulan, yaitu sebagai berikut :
  • Negara barat yang sampai hari ini sering melakukan pelanggaran HAM adalah Amerika Serikat
  • Amerika adalah Negara pelanggar HAM terburuk hingga 50 tahun terakhir
  • Motif utama seringnya terjadi pelanggaran HAM adalah lemahnya atau tidak adanya Undang – Undang yang berfungsi sebagai pelindung Hak Asasi Manusia.
  • Solusi utama untuk mengatasi terjadinya kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia secara terus menerus, maka perlu adanya perancangan UU yang bertugas untuk melindungi Hak Asasai Manusia, sekaligus mensosialisasikannya dengan cepat, terutama untuk melindungi saudara – saudara kita yang sedang menjalankan berbagai profesi di luar negeri.
3.2 Saran
Adapun saran – saran yang dapat penulis sampaikan yaitu kepada para pembaca yang sempat membaca tulisan ini diharapkan dapat mengkaji lebih jauh lagi materi tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia karena materi yang penulis sajikan mengenai kasus pelanggaran HAM dalam makalah ini masih memiliki banyak kekurangan.
DAFTAR PUSTAKA
Saleki, Hamid Sultan. 2007. Pelanggaran Hak Asasi Manusia Amerika.  Jakarta : Atase Pres Kedubes Iran.
Natalegawa, Narty. 2009. Implikasi Pelanggaran Ham. Departemen Luar Negeri Republik Indonesia Luar Negeri.
Kalsum, Umi. 2009. Kasus TKI Pertahun. Kedutaan Besar Republik Indonesia. Malaysia
Santosa, Teguh. 2007. Catatan Tentang Pelanggaran Hak Asasi Manusia Oleh Amerika Serikat. Review On Books.
Hukumit.blogspot.com



TUGAS HUKUM INTERNASIONAL
PELANGGARAN HAM (HAK ASASI MANUSIA)
Dosen: Ahmad SH. M.Hum




























Eka Putra S.                           2010.01P.020

PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL SECARA DAMAI


Cara penyelesaian sengketa internasional secara damai
Untuk mencegah penggunaan kekerasan oleh negara dalam suatu persengketaan dengan negara lain perlu ditempuh suatu penyelesaian secara damai. Usaha ini mutlak diperlukan sebelum perkara itu mengarah pada suatu pelanggaran terhadap perdamaian. Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan kewajiban kepada negara anggotanya bahkan kepada negara-negara lainnya yang bukan anggota PBB untuk menyelesaikan setiap persengketaan internasional secara damai sedemikian rupa sehingga tidak membahayakan perdamaian keamanan internasional serta keadilan.
Penyelesaian sengketa secara damai dapat dilakukan melalui :

a. Penyelesaian sengketa internasional secara politik
1). Negosiasi
Negosiasi merupakan teknik penyelesaian sengketa yang paling tradisional dan paling sederhana. Teknik negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga, hanya berpusat pada diskusi yang dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait. Perbedaan persepsi yang dimiliki oleh kedua belah pihak akan diperoleh jalan keluar dan menyebabkan pemahaman atas inti persoalan menjadi lebih mudah untuk dipecahkan. Karena itu, dalam salah satu pihak bersikap menolak kemungkinan negosiasi sebagai salah satu cara penyelesaian akan mengalami jalan buntu.
2). Mediasi dan jasa-jasa baik (Mediation and good offices)
Mediasi merupakan bentuk lain dari negosiasi, sedangkan yang membedakannya adalah keterlibatan pihak ketiga. Pihak ketiga hanya bertindak sebagai pelaku mediasi (mediator), komunikasi bagi pihak ketiga disebut good offices. Seorang mediator merupakan pihak ketiga yang memiliki peran aktif untuk mencari solusi yang tepat guna melancarkan terjadinya kesepakatan antara pihak-pihak yang bertikai. Mediasi hanya dapat terlaksana dalam hal para pihak bersepakat dan mediator menerima syarat-syarat yang diberikan oleh pihak yang bersengketa.
Perbedaan antara jasa-jasa baik dan mediasi adalah persoalan tingkat. Kasus jasa-jasa baik, pihak ketiga menawarkan jasa untuk mempertemukan pihak-pihak yang bersengketa dan mengusulkan (dalam bentuk syarat umum) dilakukannya penyelesaian, tanpa secara nyata ikut serta dalam negosiasi-negosiasi atau melakukan suatu penyelidikan secara seksama atas beberapa aspek dari sengketa tersebut. Mediasi, sebaliknya pihak yang melakukan mediasi memiliki suatu peran yang lebih aktif dan ikut serta dalam negosiasi-negosiasi serta mengarahkan pihak-pihak yang bersengketa sedemikian rupa sehingga jalan penyelesaiannya dapat tercapai, meskipun usulan-usulan yang diajukannya tidak berlaku terhadap para pihak.
3). Konsiliasi (Conciliation)
Menurut the Institute of International Law melalui the Regulations the Procedur of International Conciliation yang diadopsinya pada tahun 1961 dalam Pasal 1 disebutkan sebagai suatu metode penyelesaian pertikaian bersifat internasional dalam suatu komisi yang dibentuk oleh pihak-pihak, baik sifatnya permanen atau sementara berkaitan dengan proses penyelesaian pertikaian. Istilah konsiliasi (conciliation) mempunyai arti yang luas dan sempit. Pengertian luas konsiliasi mencakup berbagai ragam metode di mana suatu sengketa diselesaikan secara damai dengan bantuan negara-negara lain atau badan-badan penyelidik dan komite-komite penasehat yang tidak berpihak. Pengertian sempit, konsiliasi berarti penyerahan suatu sengketa kepada sebuah komite untuk membuat laporan beserta usul-usul kepada para pihak bagi penyelesaian sengketa tersebut.
Menurut Shaw, laporan dari konsiliasi hanya sebagai proposal atau permintaan dan bukan merupakan konstitusi yang sifatnya mengikat. Proses konsiliasi pada umumnya diberikan kepada sebuah komisi yang terdiri dari beberapa orang anggota, tapi terdapat juga yang hanya dilakukan oleh seorang konsiliator.
4). Penyelidikan (Inquiry)
Metode penyelidikan digunakan untuk mencapai penyelesaian sebuah sengketa dengan cara mendirikan sebuah komisi atau badan untuk mencari dan mendengarkan semua bukti-bukti yang bersifat internasional, yang relevan dengan permasalahan. Dengan dasar bukti-bukti dan permasalahan yang timbul, badan ini akan dapat mengeluarkan sebuah fakta yang disertai dengan penyelesaiannya.
Tujuan dari penyelidikan, tanpa membuat rekomendasi-rekomendasi yang spesifik untuk menetapkan fakta yang mungkin diselesaikan dengan cara memperlancar suatu penyelesaian yang dirundingkan. Pada tanggal 18 Desember 1967, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengeluarkan resolusi yang menyatakan pentingnya metode pencarian fakta (fact finding) yang tidak memihak sebagai cara penyelesaian damai dan meminta negara-negara anggota untuk lebih mengefektifkan metode-metode pencarian fakta. Serta meminta Sekertaris Jenderal untuk mempersiapkan suatu daftar para ahli yang jasanya dapat dimanfaatkan melalui perjanjian untuk pencarian fakta dalam hubungannya dengan suatu sengketa.
5). Penyelesaian di bawah naungan organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa
Amanat yang disebutkan dalam Pasal 1 Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, salah satu tujuannya adalah untuk memelihara perdamaian dan keamanan internasional. Tujuan tersebut sangat terkait erat dengan upaya penyelesaian sengketa secara damai. Isi Piagam PBB tersebut di antaranya memberikan peran penting kepada International Court of Justice (ICJ) dan upaya penegakannya diserahkan pada Dewan Keamanan. Berdasarkan Bab VII Piagam PBB, DK dapat mengambil tindakan-tindakan yang terkait dengan penjagaan atas perdamaian. Sedangkan Bab VI, Dewan Keamanan juga diberikan kewenangan untuk melakukan upaya-upaya yang terkait dengan penyelesaian sengketa.



Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional
Negara-negara bila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin digunakan adalah cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan antara lain :
a). Perang
Tujuan perang adalah menaklukan negara lawan dan membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Tindakan bersenjata yang tidak dapat disebut perang juga banyak diupayakan, secara sederhana perang merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian secara paksa. Konsepsi ini sejalan dengan pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan lawannya guna memenuhi kehendaknya.
b). Retorsi (Retortion)
Retorsi adalah pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalnya merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan privilige diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea.
c). Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisals)
Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan illegal sedangkan retorsi meliputi tindakan sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya suatu pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu.
d). Blokade secara damai (Pacific Blockade)
Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.
e). Intervensi (Intervention)
Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini berarti suatu tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari pada mediasi atau usulan diplomatik.
Menurut Mahkamah, intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas, dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan.
PROSEDUR PENYELESAIAN SENGKETA INTERASIONAL
Ditinjau dari konteks hukum internasional publik, sengketa dapat didefinisikan sebagai ketidaksepakatan salah satu subyek mengenai sebuah fakta, hukum, atau kebijakan yang kemudian dibantah oleh pihak lain atau adanya ketidaksepakatan mengenai masalah hukum atau fakta-fakta atau konflik mengenai penafsiran atau kepentingan antara 2 bangsa yang berbeda
Karakteristik dari Sengketa Internasional adalah:
1. Sengketa internasional yang melibatkan subjek hukum internasional (a Direct International Disputes), Contoh: Toonen vs. Australia. Toonen menggugat Australia ke Komisi Tinggi HAM PBB karena telah mengeluarkan peraturan yang sangat diskriminasi terhadap kaum Gay dan Lesbian. Dan menurut Toonen pemerintah Australia telah melanggar Pasal 2 ayat (1), Pasal 17 dan Pasal 26 ICCPR. Dalam kasus ini Komisi Tinggi HAM menetapkan bahwa pemerintah Australia telah melanggar Pasal 17 ICCPR dan untuk itu pemerintah Australia dalam waktu 90 hari diminta mengambil tindakan untuk segera mencabut peraturan tersebut.
2. Sengketa yang pada awalnya bukan sengketa internasional, tapi karena sifat dari kasus itu menjadikan sengketa itu sengketa internasional (an Indirect International Disputes). Suatu perisitiwa atau keadaan yang bisa menyebabkan suatu sengketa bisa menjadi sengketa internasional adalahaadanya kerugian yang diderita secara langsung oleh WNA yang dilakukan pemerintah setempat. Contoh: kasus penembakan WN Amerika Serikat di Freeport.
Kedamaian dan keamanan internasional hanya dapat diwujudkan apabila tidak ada kekerasan yang digunakan dalam menyelesaikan sengketa, yang ditegaskan dalam pasal 2 ayat (4) Piagam. Penyelesaian sengketa secara damai ini, kemudian dijelaskan lebih lanjut dalam pasal 33 Piagam yang mencantumkan beberapa cara damai dalam menyelesaikan sengketa, diantaranya :
1. Negosiasi (perundingan)
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
Pasal 33 ayat (1) Piagam PBB menempatkan negosiasi sebagai cara pertama dalam menyelesaikan sengketa.
Perundingan merupakan pertukaran pandangan dan usul-usul antara dua pihak untuk menyelesaikan suatu persengketaan, jadi tidak melibatkan pihak ketiga.
Segi positif/kelebihan dari negosiasi adalah:
1. Para pihak sendiri yang menyelesaikan kasus dengan pihak lainnya;
2. Para pihak memiliki kebebasan untuk menentukan bagaimana cara penyelesaian melalui negosiasi dilakukan menurut kesepakatan bersama;
3. Para pihak mengawasi atau memantau secara langsung prosedur penyelesaian;
4. Negosiasi menghindari perhatian publik dan tekanan politik dalam negeri.
Segi negatif/kelemahan dari negosiasi adalah:
1. Negosiasi tidak pernah akan tercapai apabila salah satu pihak berpendirian keras;
2. Negosiasi menutup kemungkinan keikutsertaan pihak ketiga, artinya kalau salah satu pihak berkedudukan lemah tidak ada pihak yang membantu.
2. Enquiry (penyelidikan)
Penyelidikan dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak memihak dimaksud untuk mencari fakta.
3. Good offices (jasa-jasa baik)
Pihak ketiga dapat menawarkan jasa-jasa baik jika pihak yang bersengketa tidak dapat menyelesaikan secara langsung persengketaan yang terjadi diantara mereka.
4. Mediation (mediasi)
Pihak ketiga campur tangn untuk mengadakan rekonsiliasi tuntutan-tuntutan dari para pihak yang bersengketa. Dalam mediasi pihak ketiga lebih aktif.
5. Consiliation (Konsiliasi)
Merupakan kombinasi antara penyelesaian sengketa dengan cara enquiry dan mediasi.
6. Arbitration (arbitrasi)
Pihaknya adalah negara, individu, dan badan-badan hukum. Arbitrasi lebih flexible dibanding dengan penyelesain sengketa melalui pengadilan.
7. Penyelesain sengketa menurut hukum
Dalam penyelesaian ini para pihak yang bersengketa akan mengajukan masalahnya ke Mahkamah Internasional. Mahkamah internasional ini bertugas untuk menyelesaikan tuntutanyang diajukan dan mengeluarkan keputusan yang bersifat final dan mengikat para pihak. Mahkamah Internasional merupakan bagian integral dari PBB, jadi tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya.
8. Badan-badan regional
Melibatkan lembaga atau organisasi regional baik sebelum maupun sesudah PBB berdiri.
9. Cara-cara damai lainnya
Dari 9 penyelesaian sengketa yang tercantum dalam Piagam, dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu penyelesaian sengketa secara hukum dan secara politik/diplomatik. Yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara hukum adalah arbitrase dan judicial settlement. Sedangkan yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry; mediasi; dan konsiliasi. Hukum internasional publik juga mengenal good offices atau jasa-jasa baik yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik.
Pada dasarnya, tidak ada tata urutan yang mutlak mengenai penyelesaian sengketa secara damai. Para pihak dalam sengketa internasional dapat saja menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara mereka ke badan peradilan internasional seperti International Court of Justice (ICJ/Mahkamah Internasional), tanpa harus melalui mekanisme negosiasi, mediasi, ataupun cara diplomatik lainnya. PBB tidak memaksakan prosedur apapun kepada negara anggotanya. Dengan kebebasan dalam memilih prosedur penyelesaian sengketa, negara-negara biasanya memilih untuk memberikan prioritas pada prosedur penyelesaian secara politik/diplomatik, daripada mekanisme arbitrase atau badan peradilan tertentu, karena penyelesaian secara politik/diplomatik akan lebih melindungi kedaulatan mereka.
PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DIPLOMATIK
YANG DAMAI
Prinsip-Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Damai adalah:
1. Prinsip itikad baik (good faith);
2. Prinsip larangan penggunaan kekerasan dalam penyelesaian sengketa;
3. Prinsip kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa;
4. Prinsip kebebasan memilih hukum yang akan diterapkan terhadap pokok sengketa;
5. Prinsip kesepakatan para pihak yang bersengketa (konsensus);
6. Prinsip penggunaan terlebih dahulu hukum nasional negara untuk menyelesaikan suatu sengketa prinsip exhaustion of local remedies);
7. Prinsip-prinsip hukum internasional tentang kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah negara-negara.
Disamping ketujuh prinsip di atas, Office of the Legal Affairs PBB memuat prinsip-prinsip lain yang bersifat tambahan, yaitu:
1. Prinsip larangan intervensi baik terhadap masalah dalam atau luar negeri para pihak;
2. Prinsip persamaan hak dan penentuan nasib sendiri;
3. Prinsip persamaan kedaulatan negara-negara;
4. Prinsip kemerdekaan dan hukum internasional.
Penyelesaian Sengketa secara Diplomatik
Seperti yang telah dijelaskan di atas, yang termasuk ke dalam penyelesaian sengketa secara diplomatik adalah negosiasi; enquiry atau penyelidikan; mediasi; konsiliasi; dan good offices atau jasa-jasa baik. Kelima metode tersebut memiliki ciri khas, kelebihan, dan kekurangan masing-masing.'
Penyelesaian sengketa internasional secara paksa
Negara-negara bila tidak mencapai kesepakatan untuk menyelesaikan sengketa mereka secara persahabatan, maka cara pemecahan yang mungkin digunakan adalah cara-cara kekerasan. Prinsip-prinsip dari cara penyelesaian melalui kekerasan antara lain :
a). Perang
Tujuan perang adalah menaklukan negara lawan dan membebankan syarat-syarat penyelesaian di mana negara yang ditaklukan itu tidak memiliki alternatif lain selain mematuhinya. Tindakan bersenjata yang tidak dapat disebut perang juga banyak diupayakan, secara sederhana perang merupakan tindakan kekerasan yang dilakukan untuk menaklukan negara lawan untuk membebankan syarat-syarat penyelesaian secara paksa. Konsepsi ini sejalan dengan pendapat Karl von Clausewitz yang mengatakan bahwa perang adalah perjuangan dalam skala besar yang dimaksudkan oleh salah satu pihak untuk menundukan lawannya guna memenuhi kehendaknya.
b). Retorsi (Retortion)
Retorsi adalah pembalasan dendam oleh suatu negara terhadap tindakan-tindakan tidak pantas atau tidak patut dari negara lain. Balas dendam tersebut dilakukan dalam bentuk tindakan-tindakan sah yang tidak bersahabat di dalam konferensi negara yang kehormatannya dihina. Misalnya merenggangnya hubungan diplomatik, pencabutan privilige diplomatik, atau penarikan diri dari konsesi-konsesi fiskal dan bea.
c). Tindakan-tindakan pembalasan (Repraisals)
Pembalasan merupakan metode-metode yang dipakai oleh negara-negara untuk mengupayakan diperolehnya ganti rugi dari negara-negara lain dengan melakukan tindakan-tindakan yang sifatnya pembalasan. Perbedaan antara tindakan pembalasan dan retorsi adalah pembalasan mencakup tindakan yang pada umumnya boleh dikatakan sebagai perbuatan illegal sedangkan retorsi meliputi tindakan sifatnya balas dendam yang dapat dibenarkan oleh hukum. Pembalasan dapat berupa berbagai macam bentuk, misalnya suatu pemboikotan barang-barang terhadap suatu negara tertentu.
d). Blokade secara damai (Pacific Blockade)
Pada waktu perang, blokade terhadap pelabuhan suatu negara yang terlibat perang sangat lazim dilakukan oleh angkatan laut. Blokade secara damai adalah suatu tindakan yang dilakukan pada waktu damai. Kadang-kadang digolongkan sebagai pembalasan, tindakan itu pada umumnya ditujukan untuk memaksa negara yang pelabuhannya diblokade mentaati permintaan ganti rugi atas kerugian yang diderita oleh negara yang memblokade.
e). Intervensi (Intervention)
Hukum internasional pada umumnya melarang campur tangan yang berkaitan dengan urusan-urusan negara lain, yang dalam kaitan khusus ini berarti suatu tindakan yang lebih dari sekedar campur tangan saja dan lebih kuat dari pada mediasi atau usulan diplomatik.
Menurut Mahkamah, intervensi dilarang oleh hukum internasional apabila: (a) campur tangan yang berkaitan dengan masalah-masalah di mana setiap negara dibolehkan untuk mengambil keputusan secara bebas, dan (b) campur tangan itu meliputi gangguan terhadap kemerdekaan negara lain dengan cara-cara paksa, khususnya kekerasan.
Cara-cara Pemecahan konflik
Usaha manusia untuk meredakan pertikaian atau konflik dalam mencapai kestabilan dinamakan “akomodasi”. Pihak-pihak yang berkonflik kemudian saling menyesuaikan diri pada keadaan tersebut dengan cara bekerja sama. Bentuk-bentuk akomodasi :
1. Gencatan senjata, yaitu penangguhan permusuhan untuk jangka waktu tertentu, guna melakukan suatu pekerjaan tertentu yang tidak boleh diganggu. Misalnya : untuk melakukan perawatan bagi yang luka-luka, mengubur yang tewas, atau mengadakan perundingan perdamaian, merayakan hari suci keagamaan, dan lain-lain.
2. Abitrasi, yaitu suatu perselisihan yang langsung dihentikan oleh pihak ketiga yang memberikan keputusan dan diterima serta ditaati oleh kedua belah pihak. Kejadian seperti ini terlihat setiap hari dan berulangkali di mana saja dalam masyarakat, bersifat spontan dan informal. Jika pihak ketiga tidak bisa dipilih maka pemerintah biasanya menunjuk pengadilan.
3. Mediasi, yaitu penghentian pertikaian oleh pihak ketiga tetapi tidak diberikan keputusan yang mengikat. Contoh : PBB membantu menyelesaikan perselisihan antara Indonesia dengan Belanda.
4. Konsiliasi, yaitu usaha untuk mempertemukan keinginan pihak-pihak yang berselisih sehingga tercapai persetujuan bersama. Misalnya : Panitia tetap penyelesaikan perburuhan yang dibentuk Departemen Tenaga Kerja. Bertugas menyelesaikan persoalan upah, jam kerja, kesejahteraan buruh, hari-hari libur, dan lain-lain.
5. Stalemate, yaitu keadaan ketika kedua belah pihak yang bertentangan memiliki kekuatan yang seimbang, lalu berhenti pada suatu titik tidak saling menyerang. Keadaan ini terjadi karena kedua belah pihak tidak mungkin lagi untuk maju atau mundur. Sebagai contoh : adu senjata antara Amerika Serikat dan Uni Soviet pada masa Perang dingin.
6. Adjudication (ajudikasi), yaitu penyelesaian perkara atau sengketa di pengadilan.
Adapun cara-cara yang lain untuk memecahkan konflik adalah :
1. Elimination, yaitu pengunduran diri salah satu pihak yang terlibat di dalam konflik, yang diungkapkan dengan ucapan antara lain : kami mengalah, kami keluar, dan sebagainya.
2. Subjugation atau domination, yaitu orang atau pihak yang mempunyai kekuatan terbesar untuk dapat memaksa orang atau pihak lain menaatinya. Sudah barang tentu cara ini bukan suatu cara pemecahan yang memuaskan bagi pihak-pihak yang terlibat.
3. Majority rule, yaitu suara terbanyak yang ditentukan melalui voting untuk mengambil keputusan tanpa mempertimbangkan argumentasi.
4. Minority consent, yaitu kemenangan kelompok mayoritas yang diterima dengan senang hati oleh kelompok minoritas. Kelompok minoritas sama sekali tidak merasa dikalahkan dan sepakat untuk melakukan kerja sama dengan kelompok mayoritas.
5. Kompromi, yaitu jalan tengah yang dicapai oleh pihak-pihak yang terlibat di dalam konflik.
6. Integrasi, yaitu mendiskusikan, menelaah, dan mempertimbangkan kembali pendapat-pendapat sampai diperoleh suatu keputusan yang memaksa semua pihak.



Hak-Hak dan Kewajiban Dari Bapak Tiri dan Anak Tiri

  Ar Rabibah adalah anak perempuannya istri yang bukan dari suami yang sekarang (anak tiri). Anak tiri perempuan ini termasuk yang haram din...