Adsense

Kamis, 08 September 2016

Tax Amnesty | Pengertian dan Ruang Lingkup Pengampunan Pajak

Apa itu Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak?

Tax Amnesty atau Pengampunan Pajak adalah program pengampunan yang diberikan oleh Pemerintah kepada Wajib Pajak meliputi penghapusan pajak terutang, penghapusan sanksi administrasi perpajakan, serta penghapusan sanksi pidana di bidang perpajakan atas harta yang diperoleh pada tahun 2015 dan sebelumnya yang belum dilaporkan dalam SPT, dengan cara melunasi seluruh tunggakan pajak yang dimiliki dan membayar uang tebusan.

Siapa saja yang bisa memanfaatkan Tax Amnesty?

Yang dapat memanfaatkan kebijakan amnesti pajak adalah:

    Wajib Pajak Orang Pribadi
    Wajib Pajak Badan
    Wajib Pajak yang bergerak di bidang Usaha Mikro Kecil dan Menengan (UMKM)
    Orang Pribadi atau Badan yang belum menjadi Wajib Pajak

Persyaratan Wajib Pajak yang dapat memanfaatkan Amnesti Pajak

    memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak;
    membayar Uang Tebusan;
    melunasi seluruh Tunggakan Pajak;
    melunasi pajak yang tidak atau kurang dibayar atau melunasi pajak yang seharusnya tidak dikembalikan bagi Wajib Pajak yang sedang dilakukan pemeriksaan bukti permulaan dan/atau penyidikan;
    menyampaikan SPT PPh Terakhir bagi Wajib Pajak yang telah memiliki kewajiban menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan; dan
    mencabut permohonan:
        pengembalian kelebihan pembayaran pajak;
        pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dalam Surat Ketetapan Pajak dan/atau Surat Tagihan Pajak yang di dalamnya terdapat pokok pajak yang terutang;
        pengurangan atau pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar;
        keberatan;
        pembetulan atas surat ketetapan pajak dan surat keputusan;
        banding;
        gugatan; dan/atau
        peninjauan kembali, dalam hal Wajib Pajak sedang mengajukan permohonan dan belum diterbitkan surat keputusan atau putusan.

Amnesti Pajak berlaku sejak disahkan hingga 31 Maret 2017, dan terbagi kedalam 3 (tiga) periode, yaitu:

    Periode I: Dari tanggal diundangkan s.d 30 September 2016
    Periode II: Dari tanggal 1 Oktober 2016 s.d 31 Desember 2016
    Periode III: Dari tanggal 1 Januari 2017 s.d 31 Maret 2017

Jenis Pajak

Berdasarkan Sistem Pemungutannya

    Pajak Langsung

Pajak langsung adalah pajak yang harus dibayar sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat dilimpahkan kepada pihak lain atau orang lain

Contoh Pajak Langsung :

    Pajak Penghasilan (PPh)
    Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
    Pajak Tidak Langsung

Pajak tidak Langsung adalah pajak yang pembayarannya bisa dilimpahkan kepada pihak lain.

Contoh Pajak Tidak langsung:

    Pajak Penjualan atas Barang Mewah
    Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
    Bea Materai
    Cukai
    Bea Impor
    Ekspor

Berdasarkan Lembaga Pemungutan

    Pajak Pusat

Pajak Pusat adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat yang pemungutan didaerah dilakukan oleh kantor pelayanan pajak.

Pajak yang termasuk pajak Pusat;

    Pajak Penghasilan (PPh)
    Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
    Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
    Bea Materai
    Pajak Penjualan atas Barang Mewah
    Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
    Pajak Migas
    Pajak Ekspor
    Pajak Daerah

Pajak daerah adalah pajak yang kewenangan pemungutan dilakukan pemerintah daerah.

Contoh Pajak Daerah:

    Pajak Kendaraan Bermotor
    Pajak Reklame
    Pajak Tontonan
    Pajak Radio
    Pajak Hiburan
    Pajak Hotel
    Bea Balik nama

Menurut Subjek Pajak

    Pajak Perseorangan, yaitu pajak yang harus diabayar oleh diri wajib pajak. Misalnya Pajak Penghasilan (PPh)
    Pajak Badan, yaitu pajak yang harus dibayar oleh badan atau organisasi. Contohnya pajak atas laba perusahaan.

Menurut Asalnya

    Pajak Dalam Negeri

Pajak yang dipungut terhadap wajib pajak (setiap warga Negara Indonesia) yang tinggal di Indonesia

    Pajak Luar Negeri

Pajak yag dipungut terhadap orang – orang asing yang mempunyai penghasilan di Indonesia

Tarif Pajak

Tarif Pajak Proporsional (Sebanding)

Tarif pemungutan pajak dengan menggunakan persentase (%) yang tetap, berapapun jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak.

Tarif Pajak Proporsional
No Jumlah Nilai Penyerahan Barang/Jasa Tarif Pajak (%) Besarnya Pajak
1 200,000 10% 20,000
2 300,000 10% 30,000
3 1,000,000 10% 100,000

Tarif Pajak Degresif (Tarif Pajak dengan Presentase semakin Menurun)

Tarif pajak dengan menggunakan presentase (%) yang menurun dengan semakin besarnya jumlah yang digunakan sebagai dasar pengenaan pajak

Tarif pajak Degresif
No Jumlah Nilai Penyerahan Barang/Jasa Tarif Pajak (%) Besarnya Pajak
1 100,000 10% 10,000
2 300,000 8% 24,000
3 500,000 6% 30,000
4 700,000 5% 35,000

Tarif pajak Progresif

Tarif pajak dengan presentase yang semakin naik dengan semakin besarnya jumlah yang dikenakan pajak.

Tarif Pajak Progresif
No Lapisan Kena Pajak Tarif Pajak (%)
1 Sampai dengan Rp25 juta 5%
2 Diatas Rp25 Juta s/d Rp50 Juta 10%
3 Diatas Rp50 Juta s/d Rp100 juta 15%
4 Diatas Rp100 juta s/d Rp200 juta 25%
5 Diatas Rp200 Juta 35%

12 Pengertian Pajak

Bicara mengenai pajak, tentu kita sudah melakukannya setahun sekali, sebulan sekali atau bahkan setiap hari. Seperti bayar pajak kendaraan dalam setahun sekali, pajak penghasilan, pajak bangunan dan bumi atau yang sering kita lakukan seperti PPN (pajak pertambahan nilai) setiap kali berbelanja di departement store atau supermarket, dan lain sebagainya. Apa yang dimaksud dengan pajak? menurut saya pajak merupakan salah satu usaha untuk membantu pemerintahan negara dalam melakukan tugasnya berbentuk uang atau barang yang sifatnya wajib dan bisa dipaksakan sesuai peraturannya, tanpa adanya imbalan yang diperoleh secara langsung namun bisa kita rasakan dalam jangka waktu yang panjang. Namun secara lebih jelasnya mari kita simak secara seksama pengertian-pengertian pajak yang dikemukakan oleh para ahli dibawah ini.

Pengertian Pajak Menurut Para Ahli
Selain pengertian pajak yang kita ketahui diatas, ada beberapa pengertian lain yang lebih luas tentang pajak yang diungkapkan oleh beberapa ahli dibidangnya, antara lain sebagai berikut:

    Menurut UU No.28 Tahun 2007 Pasal 1 Tentang Ketentuan Umum dan Perpajakan

    Pajak merupakan suatu konstribusi wajib kepada negara yang terhutang oleh setiap orang maupun badan yang sifatnya memaksa namun tetap berdasarkan pada Undang-Undang, dan tidak mendapat imbalan secara langsung serta digunakan untuk kebutuhan negara juga kemakmuran rakyatnya.

    Prof. Dr. MJH. Smeeths

    Pajak adalah sebuah prestasi pemerintah yang terhutang melalui norma-norma dan dapat dipaksakan tanpa adanya suatu kontra prestasi  dari setiap individual. Maksudnya ialah membiayai pengeluaran pemerintah atau negaranya.

    Prof. Dr. Rochmat Soemitro, SH.

    Menurutnya, pajak ialah iuran rakyat kepada negaranya berdasarkan Undang-Undang atau peralihan kekayaan dari sektor swasta kepada sektor publik yang bisa dipaksakan dan yang langsung dapat ditunjuk serta digunakan untuk membiayai kebutuhan atau kepentingan umum.

    Prof. Dr. PJA Andriani

    Beliau pernah menjadi guru besar di sebuah Perguruan Tinggi Universitas Amsterdam. Menurutnya, pajak merupakan iuran rakyat atau masyarakat pada negara yang bisa dipaksakan dan terhutang bagi yang wajib membayarnya sesuai dengan peraturan UU dengan tidak memperoleh suatu imbalan yang langsung bisa ditunjuk serta digunakan untuk pembiayaan yang diperlukan pemerintah.

    Dr. Soeparman Soemahamidjaya

    Beliau mengemukakan pendapatnya mengenai pajak, dimana pajak merupakan iuran wajib bagi warga, baik berupa uang maupun barang yang dipungut oleh penguasa menurut norma-norma hukum yang berlaku guna untuk menutup segala biaya produksi barang dan jasa untuk mencapai kesejahteraan masyarakat secara umum.

    Anderson Herschel M, dkk

    Pajak ialah pengalihan sumber dari sektor swasta ke sektor pemerintah dan bukan suatu akibat dari pelanggaran tetapi sebuah kewajiban berdasarkan ketentuan yang berlaku tanpa adanya imbalan dan dilakukan untuk mempermudah pemerintah menjalankan tugasnya.
   
    Cort Vander Linden

    Menurutnya pajak merupakan sumbangan pada keuangan umum suatu negara yang tidak bergantung pada jasa khusus dari seorang penguasa.

    Prof. Dr. Djajaningrat

    Mengemukakan bahwa pajak merupakan kewajiban untuk memberikan sebagian harta kekayaan kepada negara karena kejadian, keadaan juga perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu dimana pungutan itu bukanlah sebuah hukuman, namun kewajiban berdasarkan peraturan-peraturan yang telah ditetapkan pemerintah dan bisa dipaksakan. Tujuannya tetap untuk memelihara kesejahteraan masyarakat pada umumnya.

    Dr. N.J. Fieldman

    Pajak yaitu sebuah prestasi yang sifatnya paksaan sepihak kepada penguasa menurut norma yang ditetapkan tanpa adanya kontraprestasi dan gunanya untuk menutupi segala pengeluaran umum dari sebuah negara.

    R.R.A. Seligman

    Pajak ialah pemungutan yang sifanya memaksa kepada pemerintah atau penguasa untuk biaya segala pengeluaran yang berhubungan dengan masyarakat dan tanpa ditunjuk serta tidak ada keuntungan khusus yang diperoleh.

    Leroy Beaulieu

    Menyatakan bahwa pajak bantuan baik secara langsung atau tidak, dimana hal ini bisa dipaksakan oleh pemerintah kepada warga masyarakatnya yang gunanya untuk menutupi semua biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah suatu negara.

    Menurut UU Perpajakan Nasional

    Pajak ialah iuran wajib rakyat kepada negara berdasarkan peraturan undang-undang tanpa memperoleh imbalan langsung yang digunakan untuk pembiayaan segala pengeluaran secara umum serta pengeluaran pembangunan.

Pengertian Pajak, Fungsi, dan Jenis-Jenisnya

Berdasarkan UU KUP NOMOR 28 TAHUN 2007, pasal 1, ayat 1, pengertian Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Berdasarkan pengertian tersebut, maka pajak memiliki ciri-ciri sebagai berikut :

1. Pajak Merupakan Kontribusi Wajib Warga Negara

Artinya setiap orang memiliki kewajiban untuk membayar pajak. Namun hal tersebut hanya berlaku untuk warga negara yang sudah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif. Yaitu warga negara yang memiliki Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP) lebih dari Rp2.050.000 per bulan. Jika Anda adalah karyawan/pegawai, baik karyawan swasta maupun pegawai pemerintah, dengan total penghasilan lebih dari Rp2 juta, maka wajib membayar pajak. Jika Anda adalah wirausaha, maka setiap penghasilan akan dikenakan pajak sebesar 1% dari total penghasilan kotor/bruto (berdasarkan PP 46 tahun 2013).

2. Pajak Bersifat Memaksa Untuk Setiap Warga Negara

Jika seseorang sudah memenuhi syarat subjektif dan syarat objektif, maka wajib untuk membayar pajak. Dalam undang-undang pajak sudah dijelaskan, jika seseorang dengan sengaja tidak membayar pajak yang seharusnya dibayarkan, maka ada ancaman sanksi administratif maupun hukuman secara pidana.

3. Warga Negara Tidak Mendapat Imbalan Langsung

Pajak berbeda dengan retribusi. Contoh retribusi: ketika mendapat manfaat parkir, maka harus membayar sejumlah uang, yaitu retribusi parkir, namun pajak tidak seperti itu. Pajak merupakan salah satu sarana pemerataan pendapatan warga negara. Jadi ketika membayar pajak dalam jumlah tertentu, Anda tidak langsung menerima manfaat pajak yang dibayar, yang akan Anda dapatkan berupa perbaikan jalan raya di daerah Anda, fasilitas kesehatan gratis bagi keluarga, beasiswa pendidikan bagi anak Anda, dan lain-lainnya.

4. Berdasarkan Undang-undang

Artinya pajak diatur dalam undang-undang negara. Ada beberapa undang-undang yang mengatur tentang mekanisme perhitungan, pembayaran, dan pelaporan pajak.
Perspektif Pajak Dari Sisi Ekonomi dan Hukum Sebagai sumber pendapatan utama negara, pajak memiliki nilai strategis dalam perspektif ekonomi maupun hukum. Berdasarkan 4 ciri di atas, pajak dapat dilihat dari 2 perspektif, yaitu:

a) Pajak dari perspektif ekonomi

Hal ini bisa dinilai dari beralihnya sumber daya dari sektor privat (warga negara) kepada sektor publik (masyarakat). Hal ini memberikan gambaran bahwa pajak menyebabkan 2 situasi menjadi berubah, yaitu:

Pertama, berkurangnya kemampuan individu dalam menguasai sumber daya untuk kepentingan penguasaan barang dan jasa.

Kedua, bertambahnya kemampuan keuangan negara dalam penyediaan barang dan jasa publik yang merupakan kebutuhan masyarakat.

b) Pajak dari perspektif hukum

Perspektif ini terjadi akibat adanya suatu ikatan yang timbul karena undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah dana tertentu kepada negara. Di mana negara mempunyai kekuatan untuk memaksa dan pajak tersebut dipergunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Hal ini memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang, sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi petugas pajak sebagai pengumpul pajak maupun bagi wajib pajak sebagai pembayar pajak.

Fungsi Pajak bagi Negara dan Masyarakat

Fungsi Pajak

Pajak memiliki peranan yang signifikan dalam kehidupan bernegara, khususnya pembangunan. Pajak merupakan sumber pendapatan negara dalam membiayai seluruh pengeluaran yang dibutuhkan, termasuk pengeluaran untuk pembangunan. Sehingga pajak mempunyai beberapa fungsi, antara lain:

1. Fungsi Anggaran (Fungsi Budgeter)

Pajak merupakan sumber pemasukan keuangan negara dengan cara mengumpulkan dana atau uang dari wajib pajak ke kas negara untuk membiayai pembangunan nasional atau pengeluaran negara lainnya. Sehingga fungsi pajak merupakan sumber pendapatan negara yang memiliki tujuan menyeimbangkan pengeluaran negara dengan pendapatan negara.

2. Fungsi Mengatur (Fungsi Regulasi)

Pajak merupakan alat untuk melaksanakan atau mengatur kebijakan negara dalam lapangan sosial dan ekonomi. Fungsi mengatur tersebut antara lain:

    Pajak dapat digunakan untuk menghambat laju inflasi.
    Pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mendorong kegiatan ekspor, seperti: pajak ekspor barang.
    Pajak dapat memberikan proteksi atau perlindungan terhadap barang produksi dari dalam negeri, contohnya: Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
    Pajak dapat mengatur dan menarik investasi modal yang membantu perekonomian agar semakin produktif.

3. Fungsi Pemerataan (Pajak Distribusi)

Pajak dapat digunakan untuk menyesuaikan dan menyeimbangkan antara pembagian pendapatan dengan kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat.

4. Fungsi Stabilisasi

Pajak dapat digunakan untuk menstabilkan kondisi dan keadaan perekonomian, seperti: untuk mengatasi inflasi, pemerintah menetapkan pajak yang tinggi, sehingga jumlah uang yang beredar dapat dikurangi. Sedangkan untuk mengatasi kelesuan ekonomi atau deflasi, pemerintah menurunkan pajak, sehingga jumlah uang yang beredar dapat ditambah dan deflasi dapat di atasi.

Keempat fungsi pajak di atas merupakan fungsi dari pajak yang umum dijumpai di berbagai negara. Untuk Indonesia saat ini pemerintah lebih menitik beratkan kepada 2 fungsi pajak yang pertama. Lembaga Pemerintah yang mengelola perpajakan negara di Indonesia adalah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) yang berada di bawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia.

Tanggung jawab atas kewajiban membayar pajak berada pada anggota masyarakat sendiri untuk memenuhi kewajiban tersebut, sesuai dengan sistem self assessment yang dianut dalam Sistem Perpajakan Indonesia. Direktorat Jenderal Pajak, sesuai fungsinya berkewajiban melakukan pembinaan, penyuluhan, pelayanan, serta pengawasan kepada masyarakat. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, Direktorat Jenderal Pajak berusaha sebaik mungkin memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai visi dan misi Direktorat Jenderal Pajak.

Jenis Pajak

Ada beberapa jenis pajak yang dipungut pemerintah dari masyarakat atau wajib pajak, yang dapat digolongkan berdasarkan sifat, instansi pemungut, objek pajak serta subjek pajak.

1. Jenis Pajak Berdasarkan Sifat

Berdasarkan sifatnya, pajak digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu: pajak tidak langsung dan pajak langsung.

a) Pajak Tidak Langsung (Indirect Tax)

Pajak tidak langsung merupakan pajak yang hanya diberikan kepada wajib pajak bila melakukan peristiwa atau perbuatan tertentu. Sehingga pajak tidak langsung tidak dapat dipungut secara berkala, tetapi hanya dapat dipungut bila terjadi peristiwa atau perbuatan tertentu yang menyebabkan kewajiban membayar pajak. Contohnya: pajak penjualan atas barang mewah, di mana pajak ini hanya diberikan bila wajib pajak menjual barang mewah.

Dana Tunai Gadai Mobil dan Rumah

b) Pajak Langsung (Direct Tax)

Pajak langsung merupakan pajak yang diberikan secara berkala kepada wajib pajak berlandaskan surat ketetapan pajak yang dibuat kantor pajak. Di dalam surat ketetapan pajak terdapat jumlah pajak yang harus dibayar wajib pajak. Pajak langsung harus ditanggung seseorang yang terkena wajib pajak dan tidak dapat dialihkan kepada pihak yang lain. Contohnya: Pajak Bumi dan Penghasilan (PBB) dan pajak penghasilan.

2. Jenis Pajak Berdasarkan Instansi Pemungut

Berdasarkan instansi pemungutnya, pajak digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu: pajak daerah dan pajak negara.

a) Pajak Daerah (Lokal)

Pajak daerah merupakan pajak yang dipungut pemerintah daerah dan terbatas hanya pada rakyat daerah itu sendiri, baik yang dipungut Pemda Tingkat II maupun Pemda Tingkat I. Contohnya: pajak hotel, pajak hiburan, pajak restoran, dan masih banyak lainnya.

b) Pajak Negara (Pusat)

Pajak negara merupakan pajak yang dipungut pemerintah pusat melalui instansi terkait, seperti: Dirjen Pajak, Dirjen Bea dan Cukai, maupun kantor inspeksi pajak yang tersebar di seluruh Indonesia. Contohnya: pajak pertambahan nilai, pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, dan masih banyak lainnya.

3. Jenis Pajak Berdasarkan Objek Pajak dan Subjek Pajak

Berdasarkan objek dan subjeknya, pajak digolongkan menjadi 2 jenis, yaitu: pajak objektif dan pajak subjektif.

a) Pajak Objektif

Pajak objektif adalah pajak yang pengambilannya berdasarkan objeknya. Contohnya: pajak impor, pajak kendaraan bermotor, bea materai, bea masuk dan masih banyak lainnya.

b) Pajak Subjektif

Pajak subjektif adalah pajak yang pengambilannya berdasarkan subjeknya. Contohnya: pajak kekayaan dan pajak penghasilan.

Semua pengadministrasian yang berhubungan dengan pajak pusat, dilaksanakan di Kantor Pelayanan Pajak (KPP), Kantor Pelayanan Penyuluhan dan Konsultasi Perpajakan (KP2KP), Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak serta Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak. Sedangkan pengadministrasian yang berhubungan dengan pajak daerah, dilaksanakan di Kantor Dinas Pendapatan Daerah atau Kantor Pajak Daerah di bawah Pemerintah Daerah setempat.

Demikian ulasan mengenai pengertian pajak dan fungsinya, semoga bermanfaat bagi kita semua. Sebagai warga negara kita wajib taat membayar pajak. Sedangkan pemerintah sebagai pengelola harus dapat memanfaatkan pajak dengan semaksimal mungkin untuk kemakmuran rakyat. Semoga kita semua dapat merasakan manfaat dari pajak secara maksimal.

Minggu, 08 Mei 2016

PENELITIAN HUKUM NORMATIF

PENELITIAN HUKUM NORMATIF

PROSEDUR PENELITIAN HUKUM NORMATIF

Memulai Suatu Penelitian Hukum Normatif

Tujuan penelitian:

untuk mengungkapkan kebenaran ilmiah berdasarkan tingkat pendidikan dan kualifikasi sang peneliti, mulai dari jenjang pendidikan Sl, S2 sampai S3.

Penelitian:

·         senantiasa bermula dari rasa ingin tahu (neiwgierigheid) terhadap suatu permasalahan aktual yang dihadapi.

·         dimaksudkan untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang objek yang diteliti berdasarkan serangkaian langkah yang diakui komunitas ilmuwan sejawat dalam suatu bidang keahlian (intersubjektif).

Penemuan hasil penelitian ilmiah:

·         diakui sifat keilmiahannya (wetenschappelijkheid)

·         dapat ditelusuri kembali oleh sejawat yang berminat sebagai hal baru (nieuw moet zijn).

Kekuatan kajian hukum normatif:

terletak pada langkah-langkah sekuensial yang mudah ditelusuri ilmuwan hukum lainnya.

Peneliti hukum normatif:

datang ke perpustakaan bukan dengan ide yg kosong (blank idea)datang dengan serangkaian gambaran yang kasar tentang apa yang akan ditelitinya.menghadapi sejumlah bahan hukum yang harus dipilah-pilah serta buku teks hukum dan jurnal ilmiah di bidang hukum yang tidak sedikit jumlahnya.

Belum memiliki ­gambaran tentang apa yang akan ditelitinya:

      datang kepustakaam sbg kenyataan yang akan sangat menyiksa.

Telah memiliki ide tentang apa yang akan diteliti:

      datang ke perpustakaan:

      - dengan rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap bidang pilihannya

- semangat yang tidak kenal putus asa,

- mengarahkan sang peneliti

Memilih Permasalahan Hukum yang akan Diteliti

Tidak semua masalah yang terjadi di sekitar kita merupakan permasalahan hukum.Seorang peneliti hukum hanya memfokuskan perhatiannya terhadap permasalahan hukum.Dalam ilmu hukum:

·         kajian terhadap penerapan aturan hukum yang didukung oleh teori dan konsep-konsep di bidang hukum dihadapkan pada fakta hukum yang memunculkan ketidakpaduan antara kajian teoretis dengan penerapan hukum positif tersebut.

·         Ketidakpaduan antara keadaan yang diharapkan (das sollen) dengan kenyataan (das sein) menimbulkan tanda tanya mengenai apa sebenarnya permasalahan hukum dari segi normatif.

·         apa yang diharapkan terjadi akibat penerapan hukum tsb ternyata tdk berfungsi seperti yg diharapkan atau justru hanya menimbulkan konflik yg menyebabkan ketidakadilan, ketidaktertiban dan  ketidakpastian hukum dalam masyarakat yang sebenarnya bertentangan dengan cita-cita hukum itu sendiri.

Contoh penelitian normatif dari segi hukum perdata:

munculnya sengketa waris dalam hubungan dengan penerapan pasal-pasal dalam UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (Lembaran Negara RI Tahun 1989 No. 49).

Pasal 2:  "Pengadilan Agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara perdata tertentu yang diatur dalam UU ini".

           

Pasal 49 ayat (1): "Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang beragama Islam mengenai:

·         perkawinan,

·         kewarisan, wasiat, dan hibah yg dilakukan berdsrkan hukum Islam,

·         wakaf dan sedekah".

Pasal 49 ayat (3) : Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf (b) ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris penentuan- mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut".

Pasal 50: "Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai objek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus terlebih dahulu Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum”.

Penjelasan umum angka 2 dalam alinea keenam UU No. 7/1989: Sehubungan dengan hal tersebut, para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk memilih hukum apa yang akan  digunakan dalam pembagian warisan”.

Analisis sementara terhadap bahan hukum tersebut:

menimbulkan tanda tanya menyangkut batas-batas kompetensi absolut badan peradilan agama yang diatur dalam UU No. 7 Tahun 1989 dan kompetensi absolut badan peradilan umum sebagaiman diatur          dalam UU No. 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum.

Penyelesaian sengketa waris dalam praktik dpt menimbulkan konflik antara dua lembaga peradilan terkait dalam memutus perkara.

            Apalagi jika dihadapkan pada fakta hukum:

-- seorang muslim karena satu dan lain hal dapat berpindah ke agama lain, begitu juga seorang yang non muslim dapat juga berpindah ke agama Islam sesudah terjadi perkawinan berdasarkan UU No. 1  Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Tema sentral penelitian normatif yang diangkat:

”sengketa waris yang melibatkan dua lembaga peradilan”

                 

Judul penelitian terhadap isu hukum tersebut:

”Konflik Kewenangan Pengadilan Agama dan Pengadilan Negeri Terhadap Sengketa Waris".

Contoh lain gugatan pembatalan sertifikat atas tanah:

a.   Tumpang tindihnya sertifikat tanah, ketika dalam satu bidang tanah muncul klaim dari para pihak yang masing-masing mengaku memiliki sertifikat atas bidang tanah yang sama.

b.  sertifikat atas tanah merupakan objek gugatan perdata di Pengadilan Negeri.

c.  sertifikat atas tanah diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional sebagai Badan Tata Usaha Negara.

Karena itu:

sertifikat atas tanah memiliki sisi ganda.

--  merupakan Keputusan Tata Usaha Negara

--  merupakan tanda bukti hak keperdataan atas kepemilikan seseorang atau suatu badan hukum atas tanah.

(Pasal 32 PP No. 24/1997 ditegaskan bahwa sertifikat  atas tanah merupakan pembuktian yang kuat)


Penelitian normatif terhadap permasalahan hukum yang muncul:

tema sentralnya  =            mengenai gugatan pembatalan sertifikat    tanah dengan titik berat yang mempersoalkan kompetensi Badan   Peradilan Umum dan Badan Peradilan TUN untuk memutuskan perkara gugatan  pembatalan sertifikat tanah.

bahan-bahan ­hukum yang digunakan:

            --          Peraturan perundang-undangan

--          berbagai putusan ­hakim terhadap kasus yang sama (asas similia similibus) mulai dari putusan pengadilan tingkat pertama, banding sampai kasasi dan peninjauan kembali (PK) sampai putusan berkekuatan hukum yang tetap.

Penelitian hukum normatif:

       tidak hanya merupakan penelitian terhadap teks hukum semata, tetapi  melibatkan kemampuan analisis ilmiah terhadap bahan hukum dengan  dukungan pemahaman terhadap teori  hukum.

            Namun:
pada derajat tertentu juga memerlukan refleksi kefilsafatan yang diperoleh melalui filsafat hukum.

Contoh penelitian hukum normatif:

•          keresahan dalam masyarakat karena diundangkannya UU No. 16/2001 tentang Yayasan.

•          Sengketa keperdataan yang berhubungan dengan yayasan sebagai badan hukum, mulai bermunculan.

•          Adanya pandangan yang keliru oleh pihak tertentu dalam masyarakat terhadap harta milik yayasan yang dianggap sebagai milik publik karena menafsirkan secara sepihak aturan dalam pasal 1 ayat (1) UU No. 16/2001.

 Tujuan pemerintah untuk menertibkan keberadaan yayasan.

•          Memberikan landasan hukum yang kuat yakni untuk menciptakan kepastian hukum terhadap eksistensi badan hukum yayasan melalui UU No. 16 Tahun 2001

•          mencegah digunakannya yayasan sebagai kedok mencari dana untuk kepentingan pribadi seperti terungkap pada praktik penggunaan badan hukum yayasan dalam era Orde Baru.

•          bukan ketertiban yang datang tetapi kekacauan yang muncul.

•          muncul dikalangan organisasi-organisasi keagamaan yang memayungi ratusan bahkan ribuan yayasan yang benar-benar menjlnkan fungsi sosial, kemanusiaan, dan keagamaan.

Penelitian normatif:

-- pendekatan konsep (Conceptual approach)

-- perbandingan hukum (comparative approach)

ternyata menunjukkan bahwa:

            konsep pendirian yayasan di negara-negara Barat amat berbeda    dengan Indonesia.

Motif pendirian yayasan

di Barat = filantropis yang berarti bahwa sang pendiri/para pendiri yayasan adalah orang-orang yang sudah sangat kaya.

Indonesia = orang yang berpenghasilan pas-pasan

   ada unsur menjadikannya sebagai usaha untuk memperoleh mata pencarian.

Bertolak dari penemuan tersebut:

Seharusnya pengaturan norma-norma yang kabur (vage normen) dan berakibat pada pasal-pasal tertentu yang kurang presisi   pengaturannya lebih dipertegas agar tidak ambigu sehingga tidak membuka kemungkinan munculnya penafsiran berbeda (multitafsir).

Memberikan beberapa rekomendasi untuk membuka jalan bagi dilakukannya 25 (dua puluh lima) butir amandemen terhadap UU No. 16 Tahun 2001.

                                   

  

Isu hukum (legal issue):

yang dapat diangkat

a.         sangat luas

b.         yang menjadi permasalahan kemasyarakatan dalam bidang hukum.               

- hubungan keperdataan,

- pidana,

- tata usaha negara,

- hukum internasional, dan berbagai aspek hukum lainnya.

hampir semua problem:

dapat menjadi objek kajian dalam penelitian normatif.

Menyusun Rancangan Proposal/Usulan Penelitian

konsekuensi bagi sang peneliti:

yang memulai suatu penelitian ilmiah:

a.     waktu yang dipakai untuk:

mengumpulkan bahan-bahan hukum serta buku-buku teks, jurnal ilmiah, dan literatur-literatur terkait dengan penelitian

b.   mengingat jadwal batasan waktu yang disesuaikan dgn kondisi konsekuensi atas pembiayaan untuk mendukung setiap tahap yang diperlukan dalam penelitian.

c.    kesiapan dan menghindarkan kegagalan pelaksanaan penelitian

Sebelum suatu penelitian dimulai:

diwajibkan menyusun proposal penelitian dengan arahan dari seorang dosen atau penasihat akademis yang memiliki kualifikasi seorang pembimbing.

Proposal penelitian:

a.    harus dipertahankan di hadapan panitia penguji.

b.    Ujian diselenggarakan untuk mengkaji:

apakah penelitian tersebut layak diteruskan atau harus dibatalkan karena menemukan alasan-alasan tertentu yg menyimpulkan bahwa proposal tsb tidak layak untuk diteruskan.

 

alasan ditolak:

a.   penelitian tsb telah mulai dilaksanakan terlebih dahulu oleh peneliti lain dengan menggunakan metode penelitian dan pendekatan yang sama,

b.    keterbatasan ketersediaan bahan hukum dan buku­-buku penunjang yang diperlukan,

c.    kemampuan peneliti dari segi teoretis dan metodologis

d.    manfaat dari hasil penelitian yang dianggap kurang penting bagi masyarakat dan sumbangannya bagi ilmu  pengetahuan,

e.    materi penelitian jika dikaitkan dengan kondisi politik dan ekonomi negara yang cepat berubah yang dapat       mementahkan. penelitian yang akan dilakukan tersebut.

Proposal atau usulan penelitian:

a.     Memiliki persyaratan ilmiah sesuai bobot pendidikan yg ditempuh.

b.    Masing-masing perguruan tinggi memiliki tradisi dan aturan-aturan baku dalam penyusunan skripsi, tesis, maupun disertasi.

·      Beberapa Universitas mensyaratkan penyusunan tesis (S2)

•          diperlukannya minimal 100 judul buku acuan

•          minimal 5 jurnal ilmiah

•          minimal 5 buku teks yang berbahasa asing.

•          disandarkan pada konsep ilmiah yg dapat dipertanggungjawabkan

Dirjend Dikti Departemen ­Pendidikan Nasional

             

menerbitkan buku:

"Pedoman Pelaksanaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat oleh Perguruan Tinggi".

a.    standar acuan yang menjadi pedoman bagi suatu penelitian ilmiah

b.    urut-urutan suatu penelitian:

•                Sampul muka

•                Lembar Identitas dan Pengesahan Ringkasan / Summary

•                Kata Pengantar

•                Daftar Isi

•                Daftar Tabel

•                Daftar Gambar

•                Pendahuluan Tinjauan Pustaka

•                Tujuan dan Manfaat Penelitian

•                Metode Penelitian

•                Hasil dan Pembahasan

•                Kesimpulan dan Saran

•                Daftar Pustaka

•                Lampiran

Format baku yang disusun oleh Ditjen Dikti:

a.    bersifat umum, dan

b.  dalam batas tertentu seharusnya  dapat menoleransi penyimpangan-penyimpangan sejauh menyangkut konfigurasi suatu penelitian yang disandarkan pada tradisi ilmiah masing-masing disiplin ilmu yang akan diteliti.

 Merumuskan Judul Penelitian

a.    Judul suatu penelitian hukum normatif:

            -- merupakan refleksi thdp tema sentral yg menjadi objek lit

            -- harus dibuat singkat dan jelas

-- tidak memunculkan beberapa interpretasi yang menyimpang dari materi yang akan diteliti.

== semakin sedikit suku kata yang dipakai sebagai judul, akan  semakin tajam dan memperkecil peluang penafsiran yang menyimpang.

== semakin panjang suku kata yang digunakan akan memperbesar  kemungkinan munculnya penafsiran lain yang sesungguhnya tidak  diperlukan dan tidak dikehendaki oleh peneliti tersebut.

Meskipun demikian:

ada juga judul yang harus terdiri atas satu kalimat dengan banyak suku kata untuk mempertajam dan merefleksikan isi dr penelitian terkait secara tegas

Judul penelitian:

        harus memperhitungkan satu atau dua kata kunci (key words)

karena:

sebagai karya ilmiah hukum, penelitian tersebut juga  ingin dibaca oleh kalangan hukum atau oleh peneliti sesudahnya.

Keuntungan memasukkan kata kunci:

Pertama :          ada jaminan bahwa pelayanan pemayaran pustaka (literaturescanning service) dapat menggolongkan hasil penelitian tersebut dalam klasifikasi yang benar.

Kedua  :            sang peneliti akan mendapatkan judul yang deskriptif sehingga menarik perhatian orang untuk membaca.

Hal itu membawa implikasi pada diakuinya kepakaran peneliti tersebut apabila komunitas ilmuwan sekeahlian mengakui manfaatnya dalam ilmu hukum, baik dari segi teoretis maupun dari  segi praktis.

Latar Belakang Masalah

a.     merefleksikan motivasi yang mendorong diadakannya suatu penelitian hukum

b.    berisi uraian tentang apa yang menjadi pokok permasalahan yg diangkat sehingga permasalahan tsb penting untuk diteliti

c.    perlu ditunjukkan letak permasalahan yang akan  diteliti dalam konteks teori dengan permasalahan  yang lebih luas, serta apa sumbangan penelitian     tersebut thdp permasalahan yg lebih luas tsb

                       

Suatu penelitian vang baik:

harus memberikan manfaat praktis bagi  masyarakat dan tentu saja memberikan  sumbangan dari segi teoretis terhadap  ilmu hukum.

Perumusan Masalah:

a.      harus dibuat dalam suatu kalimat yang sejelas mungkin

b.      akan menentukan arah penelitian yang dikehendaki.

Rumusan konkret permasalahan yang akan diteliti:

harus dilandasi oleh pemikiran teoretis.

Rumusan masalah dalam suatu penelitian hukum normatif:

a.    tidak harus dalam suatu  kalimat tanya, namun dapat juga dalam bentuk pernyataan.

b.    tidak sama dgn rumusan masalah suatu penelitian hukum empiris.

c.    hindari kata-kata seperti:

      - 'sejauh mana',

      - 'seberapa jauh',

      -  efektivitas aturan perundang-undangan

         (bermakna empiris dan memerlukan alat-alat ukur serta pengolahan sejumlah data)

 

Penelitian normatif:

sebagai ilmu praktis direfleksikan dari teknik perumusan masalah yang akan memengaruhi jumlah   bab dan sistematika susunan dan rancangan bab.

Hal itu berdasarkan urutan logis sistematis dalam menganalisis pembahasan permasalahan hukum yang diteliti, serta pemecahan masalah yang membawa pada kesimpulan dan saran tindak yang diperlukan.

 Teknik perumusan masalah:

yang diangkat dari isu hukum yang akan diteliti,  maka:

rancangan susunan bab sebagai berikut:

           

Bab I  :    Pendahuluan

Bab II :    Pembahasan rumusan masalah 1 yang merupakan legal    issue 1 dan sub-legal issue yg terkait dgn pembahasan terhadap rumusan masalah 1.                                                 

Susunan subbab adalah berdasarkan urutan logis yang dimunculkan dalam menjawab permasalahan hukum yang  merupakan judul bab II

Bab III :   Pembahasan  rumusan masalah 2 yang merupakan legal    issue 2 dan sub-legal issue yang terkait dengan  pembahasan terhadap rumusan masalah 2.

Bab IV :   Pembahasan rumusan masalah 3 yang merupakan legal issue 3 dan sub-legal issue 3 yang terkait dengan pembahasan terhadap rumusan masalah 3

Bab V   :  Penutup (isinya adalah simpulan dan saran)

jika peneliti ingin memberikan elaborasi atas pembahasan terhadap bab-bab sebelumnya yang terkait dengan temuan-temuan ilmiah atau teori-teori baru yang dihasilkannya (khusus untuk penulisan tesis dan disertasi)

maka,  

ia bebas menentukan jumlah bab yang diperlukan.

Asalkan:

menjelaskan dan mempertanggungjawabkan urutan logis sistematis dalam sub bab I (Pendahuluan)  tentang pernggungjawaban Sistematika.

jika dalam permasalahan hukum (legal issue) yang akan dibahas ada 3 (umumnya rumusan masalah lebih dari 2 muncul dalam penulisan Tesis dan Disertasi)

maka,

jumlah babnya akan menyesuaikan menjadi 5 atau 6 bab

 Struktur dan sistematika penulisan:

skripsi, tesis, dan disertasi tersebut merupakan:

refleksi ilmu hukum sebagai ilmu praktis normatif dalam memberikan penyelesaian ilmiah (rasional) terhadap berbagai problem kemasyarakatan yang faktual dan potensial sehingga dapat dipertanggungjawabkan.

Jawaban yang diberikan secara praktis tsb:

harus bersifat final sesuai apa yang  diatur dalam hukum positif

Keaslian Penelitian

a. memberikan pertanggungjawaban ilmiah bahwa penelitian yang dilakukannya dijamin keasliannya.

b. Nilai-nilai dan kejujuran ilmiah yang dijunjung tinggi dan terjaga dalam bidang akademis akan tetap lestari bila seorang peneliti menyadari kebenaran ilmiah yang ingin diperoleh dalam penelitiannya serta menghindari hal-hal yang tabu untulk seorang ilmuwan, seperti melakukan plagiat.

c.  memilih bidang konsentrasi tertentu yang menarik perhatian dan belum dilakukan oleh peneliti sebelumnya.

Keaslian penelitian:

tempat seorang peneliti memberikan per­tanggungjawaban ilmiah terhadap keaslian karyanya

Kriminalisasi terhadap plagiat:

telah diatur dalam Pasal 70 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Tujuan Penelitian

•          senantiasa mengikuti apa yang telah menjadi rumusan masalah dan menjelaskan apa yang ingin diperoleh dalam proses penelitian.

•          harus jelas dan tegas serta memiliki keterkaitan dgn rumusan masalah

Manfaat Penelitian

•          berisi uraian tentang temuan baru yang diupayakan dan akan dihasilkan dalam penelitian serta apa manfaat temuan tersebut bagi perkembangan mu pengetahuan dan atau praktik hukum.

•          dirinci baik manfaat praktis maupun manfaat teoretis yang dihasilkan dalam penelitian.

Tinjauan Pustaka:

à      berisi uraian teoretis

à      sering juga disebut kajian teoretis

à      menjadi pisau analisis terhadap pemecahan permasalahan hukum diteliti.

à      pendapat para sarjana hukum yang mempunyai kualifikasi tinggi (the most highly qualified legal schol­ars' opinion) digunakan utk mengkaji permasalahan hukum yg dihadapi.

à      memuat uraian sistematis tentang teori dasar yang relevan terhadap fakta hukum dan hasil penelitian sebelumnya yang berasal dari pustaka mutakhir yang memuat teori, proposisi, konsep, atau pendekatan terbaru yang berhubungan dengan pe­nelitian yang akan dilakukan.

Kejujuran akademis mewajibkan peneliti untuk memaparkan dan menunjukkan sumber-sumber berbagai teori yang digunakannya.

Metode Penelitian

•          ciri khas ilmu adalah dengan menggunakan metode.

•          Metode berarti penyelidikan yang berlangsung menurut suatu rencana tertentu. Menempuh suatu jalan tertentu untuk mencapai tujuan, artinya peneliti tidak bekerja secara acak-acakan.

•          Langkah-langkah yang diambil harus jelas serta ada pembatasan-pembatasan tertentu untuk menghindari jalan yang menyesatkan dan tidak terkendalikan.

Metode ilmiah timbul dengan membatasi secara tegas bahasa yang dipakai oleh ilmu tertentu.

Penelitian hukum tentu menggunakan bahasa hukum yang dipahami oleh para sejawat  sekeahlian (inter­subjektif) dan setiap pengemban hukum.

Metode penelitian hukum normatif:

à      harus memuat uraian:

                       

-- Tipe Penelitian

(sbg konsekuensi pemilihan topik permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian yang objeknya adalah permasalahan hukum.

hukum adalah kaidah atau norma yang ada dalam masyarakat), maka tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk  mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.

Pendekatan Masalah

                                   

Tipe penelitian yuridis normatif:

maka pendekatan yang digunakan:

pendekatan perUUan (statute approach)melakukan pengkajian peraturan perUUan yg berhubungan dgn tema sentral penelitian

                                     

pendekatan lain:

yang diperlukan guna memperjelas  analisis ilmiah yg diperlukan dlm lit normatif.

                                               

Bahan Hukum, meliputi:

A.  Bahan hukum primer:

yakni bahan hukum yang terdiri atas perat perUUan yg  diurut berdasarkan hierarki:

1.       UUD 1945,

2.       UU/Perpu,

3.       PP,                        

4.       Peraturan Presiden (Perpres),

5.       Peraturan Daerah (Perda).               

== Pasal 2 Tap MPR No. III/MPK/2000 Tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundangan

B.  Bahan hukum sekunder:

bahan hukum yang terdiri atas:

1.       buku-buku teks (textbooks) yang ditulis para ahli hukum yang berpengaruh (de herseende leer),

2.       jurnal-jurnal hukum,

3.       pendapat para sarjana,

4.       kasus-kasus hukum,

5.       yurisprudensi. dan

6.       hasil-hasil simposium mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.

C.  Bahan hukum tersier:

adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum, encyclopedia, dll




Prosedur Pengumpulan Bahan Hukum

                       

à      Berisi uraian logis prosedur pengumpulan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier,

à      bagaimana bahan hukum tersebut diinventarisasi dan diklasifikasi dengan menyesuaikan dengan masalah yang dibahas.

à      sering digunakan sistem kartu.

Bahan hukum yang berhubungan dengan masalah yang dibahas dipaparkan, disistematisasi, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.

Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum

Langkah-langkah yang berkaitan dengan pengolahan terhadap bahan-bahan hukum yang telah dikumpulkan untuk menjawab isu hukum yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

menyangkut kegiatan penalaran ilmiah terhadap bahan-bahan hukum yang dianalisis, baik menggunakan penalaran induksi, deduksi, maupun abduksi.

Pertanggungjawaban Sistematika

uraian logis sistematis susunan bab dan subbab untuk menjawab urai­an terhadap pembahasan permasalahan yang dikemukan (isu hukum/legal issues) selaras dengan tema sentral yang direfleksikan dalam suatu judul penelitian dan rumusan permasalahannya.

Mengapa suatu bab ditempatkan dalam urutan tertentu, serta mengapa ada subbab tertentu yg dipertanggung jawabkan secara logis kritis. Ini semua berkaitan dengan teknik perumusan masalah yang telah diuraikan sebelumnya.

Pertanggungjawaban sistematika dengan sendirinya akan memunculkan rancangan susunan bab, yang bakal menjadi pedoman digunakan oleh seorang peneliti untuk menyusun skripsi, tesis, ataupun disertasi sesuai dengan jenjang pendidikan yang ditempuhnya.


KESALAHAN-KESALAHAN 
DALAM 
PENELITIAN HUKUM NORMATIF

Kesalahan utama yang sering terjadi:

             dalam penelitian (pengkajian) hukum

Format Penelitian

memaksakan penggunaan format penelitian empiris dalam ilmu sosial terhadap penelitian normatif dalam ilmu hukum.

                   menunjukkan kedangkalan pengetahuan seorang peneliti

== melupakan karakter ilmu hukum dalam sisinya sebagai ilmu normatif

                          -- penelitiannya, diragukan sifat ilmiahnya.

Sebagai ilmu praktis normologis:

         kedudukan ilmu hukum yg mandiri   harus dipahami letaknya, karena mengandung konsekuensi terhadap penggunaan metodologi penelitiannya.

Penolakan secara murni dan ekstrem terhadap penelitian hukum empiris dalam format ilmu sosial tidak bijaksana:

karena:

mengabaikan sumbangannya terhadap penelaahan terhadap bahan hukum yang dihasilkan guna merespons gejala-gejala yang bertumpu fakta sosial (ipso facto).

a.  fakta­-fakta sosial dapat dijelaskan dengan bantuan hukum

b.     kaidah-kaidah hukum (gejala-gejala hukum) dapat dijelaskan dengan bantuan fakta-fakta sosial.

Penggunaan dua jenis metode atau lebih:

      secara bersamaan tetap dimungkinkan,  asalkan:

pertanggungjawaban ilmiah terhadap penggunaan masing-masing metode:

     dilakukan dengan memberikan penjelasan dan pembatasan yang jelas dan tegas, serta memberikan penjelasan yang adekuat mengapa dalam penelitian itu harus menggunakan metode yang berbeda.

Penelitian empiris dalam format ilmu sosial terhadap ilmu hukum maupun penelitian hukum normatif:

 tidak dapat disintesis begitu saja secara mudah,

tanpa:

pemahaman yang jelas terhadap hakikat perbedaan-perbedaan yang mendasari kedua format penelitian sb, serta konsekuensinya terhadap hasil penelitian yang dilakukan.

Penggunaan Data dan Analisis Statistik dalam Penelitian

Jika analisis empiris:

dibutuhkan dalam suatu penelitian normatif, 

maka,

pendekatan dari segi empiris dapat membantu dalam penelitian normatif, namun dengan konsekuensi penggunaan metode yang berbeda dengan pemisahan yang jelas dan tegas.

Sehingga:

kurikulum nasional pendidikan ilmu hukum

mengajarkan teknik analisis kuantitatif (statistik digabung dalam mata kuliah metode penelitian hukum)

analisis statistik dilakukan atas dasar pengamatan atau pengumpulan data-data empiris

            tidak diperlukan dalam literatur normatif murni.

Walpole:

Statistika:

a.   statistika deskriptif

(metode-metode yang ber­kaitan dengan pengumpulan data dan penyajian suatu gugus data sehingga memberikan informasi yang berguna)

b.   inferensial statistik

(mencakup semua metode yg berhub. dng analisis sebagian data untuk kemudian sampai pada peramalan atau penarikan kesimpulan keseluruhan gugus data induknya)

Logika yang digunakan dalam ilmu empiris:

induksi,

       (menarik kesimpulan umum dr premis-premis yg bersifat partikular)

Berdasarkan metode empiris:

satu-satunya sumber pengetahuan adalah pengalaman            

 (Yunani à empeirikos)

Morris T Keeton:

"either all consious content, data, of the senses only, or other designated content".

Penelitian normatif:

tidak memerlukan data,

karena:

yang diperlukan adalah analisis ilmiah terhadap bahan hukum.

Tradisi ilmiah dalam suatu penelitian normatif:

memperbolehkan penggunaan analisis ilmiah ilmu-ilmu lain (termasuk ilmu empiris) untuk menjelaskan fakta-fakta hukum yang diteliti dengan cara kerja ilmiah yang ajeg serta cara berpikir yuridis (juridis denken) mengolah hasil berbagai disiplin ilmu terkait untuk kepentingan analisis bahan hukum, namun, tidak mengubah karakter khas ilmu hukum sbg ilmu normatif

Penelitian di jenjang pendidikan S2:

pemahaman terhadap metode penelitian hukum empiris mulai diperlukan,  karena: ciri khas lapisan keilmuannya berada pada jenjang pemahaman teori hukum dengan karakter interdisipliner.

Karakter interdisipliner:

keterlibatan berbagai ilmu lain:

     untuk kepentingan, analisis bahan hukum, 

     karena:

     dalam posisi tersebut teori hukum memiliki dua dimensi,

            a. dimensi praktis

            b. dimensi empiris. 

 Peneliti harus memiliki kemampuan melihat hukum dari:

a.   perspektif yuridis ke dalam bahasa non yuridis, dan

b. mampu mengombinasikan penggunaan bbrp metode penelitian, terutama mengunakan metode normatif.

bahkan:

untuk  memperkuat argumentasi dan analisis ilmiahnya, ia juga dapat menggunakan format             penelitian ilmu hukum empiris dengan memberikan batasan-batasan dan pertanggungjawaban secara ilmiah terhadap penggunaan dua metode yang berbeda terhadap satu penelitian.

Penelitian hukum normatif:

dapat berlangsung dengan dilengkapi penelitian empiris tanpa harus mengubah diri dari ilmu normatif menjadi ilmu empiris tersebut

Penggunaan Istilah dan Hipotesis

Dalam format penelitian normatif:

            Peneliti haruas menghindari:

                         istilah-istilah yang bersifat empiris

istilah-istilah:

            a. sumber data

            b. teknik pengumpulan data,

            c. analisis ­data

            d. perumusan masalah:

                        dalam kalimat tanya:

-- 'bagaimana' atau 'seberapa efektif, dan'seberapa jauh' ­adalah ex post

            sehingga istilah-istilah tersebut bermakna empiris.

Penerapannya dalam suatu penelitian:

akan memerlukan alat-alat ukur dan harus melewati tahap pengujian­-pengujian yang biasa digunakan dalam format penelitian ilmu sosial.

Penggunaan hipotesis:

tidak diperlukan dalam suatu penelitian hukum normatif.

Hipotesis: kata Yunani

            Hypo = berarti kurang,   thesis = bermakna pendapat.

Hipotesis:

pendapat yang kurang sempurna, atau kesimpulan sementara yang belum sempurna sehingga diperlukan pembuktian terhadap kesimpulan tersebut.

Untuk itu:

diperlukan serangkaian tahapan dan alat-alat uji untuk membuktikan kebenarannya dan dapat saja kesimpulan semen­tara tersebut ditolak atau dikukuhkan kebenarannya.

Ketidakpaduan penggunaan hipotesis:

dalam suatu penelitian normatif,

karena:

pembuktian hipotesis tersebut dilakukan berdasarkan validitas data lapangan, sementara seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa data bermakna empiris.

Dalam analisis hukum:

pembuatan suatu hipotesis dalam suatu penelitian hukum normatif hanya dimungkinkan jika kegiatan penalaran hukum yang dilakukan oleh peneliti bertolak dari penalaran abduksi.

Ini dapat terjadi karena dalam penalaran abduksi, fakta hukum terberi (given) yang dipandang problematis diandaikan sebagai suatu aturan hukum yang dapat memberikan penjelasan bermakna terhadap peristiwa-peristiwa (kejadian) khusus tertentu.

           

Meskipun demikian:

penggunaan hipotesis tetap tidak adekuat dalam penelitian hukum normatif.

Penggunaan Content Analysis dalam Penelitian Normatif

Belakangan ini:

banyak penelitian di tingkat Strata 2 dan Strata 3 yang menggunakan metode normatif, namun analisisnya menggunakan jenis kajian yang disebut "content analysis".

Penelitian dengan model kajian contents analysis:

sangat dimungkinkan dalam penelitian ilmu hukum empiris,  namun tidak dapat diterapkan dalam penelitian ilmu hukum normatif.

Jika suatu penelitian diformat sebagai suatu penelitian normatif:

tetapi ternyata juga menggunakan model kajian content analysis,

maka:

sang peneliti telah membuka kedok kedangkalan pemahaman teoretis dalam penelitian normatif.

Mengapa content analysis tidak boleh digunakan dalam suatu penelitian hukum normatif ? 

Content analysis:

Fred N. Kerlinger:

       is a method of studying and analyzing communications in a systematic, objective and    quantitative manner to measure variables.

Pauline V. Young:

      is a research technique for the systematic, objective and quantitative description of the content of research procured through interviews, questionnaires, schedules, and other linguistic expression, written or oral.

Lincoln dan ­Guba: à Rosengren:

    "In general, content analyis applies empirical and statistical method of textual material”.

Penggunaan model content analysis:

bersifat empiris

1.   digunakan pada penelitian ilmu sosial (empiris)     atau juga pada ilmu hukum empiris

2.   tidak tepat jika digunakan dalam suatu penelitian hukum normatif.

Dalam kajian suatu penelitian hukum:

1.      pendekatan content analysis dapat digunakan, tetapi penelitian tersebut termasuk penelitian dalam format ilmu hukum empiris, bukan dalam format penelitian ilmu hukum normatif.

2     Jika suatu penelitian normatif membutuhkanbantuan content analysis yang bersifat empiris terhadap analisis bahan hukum yang dibuatnya, maka alasan penggunaan content analysis harus dipertanggungjawabkan secara ilmiah yang dibahas secara rinci batas-batasnya dalam metode penelitian.

Jika seorang peneliti:

MEMAKNAI HUKUM SEBAGAI SUATU SISTEM YAMG TERJADI ATAS TIGA ELEMEN UTAMA: berupa

            a. aturan-aturan,

            b. prinsip-prinsip, dan

            c. moralitas politik

yang berinteraksi secara positif guna menggerakkan bekerjanya sistem tersebut secara dinamis.

Melalui rights thesis nya yang ditujukan sebagai wacana untuk menggugurkan positivisme versi H.L.A. Hart, Ronald Dworkin menampilkan seorang hakim (mythical judge) yang oleh Dworkin diakui memiliki kemampuan : “lawyer of superhuman skill, kearning, patience and acumen”. Hakim tersebut diberinya nama Hercules untuk menjelaskan pendekatan integral  guna memaknai penerapan hukum secara benar.

Cara Hercules memandang hukum dari perspektif internal secara utuh sebagaiman dimaksudkan oleh Dworkin tersebut misalnya tampak dalam tulisannya di bawah ini.

“Integrity requires him to construct, for each statue he asked to enforce, some justification that fits and flows through that statue and is, if possible, consistens with other legislation in force. This mean he must ask himself which combination of which principles and policies, with which assignment of relative importance when these compete, provides the ebst case for what the plain words of the statute plainly require. Since Hercules is now justifiying a staute rather than a set pf common law precedent, the particular constraint we identified in (common law) no longer holds, he must consider justifications of policy as well as of principle, and in some cases it might be problematic which form of justification whould be some more appropiate”.

Cara Dworkin menyampaikan rights thesis dalam prspektif internal menunjukkan bahwa hukum meliputi prinsip-prinsip, standar-standar juga aturan-aturan, dan keputusan publik yang terintegrasi dan oleh sebagian ilmuwan hukum disebut Content Theory. Content theoryyang dimaksud tidak dibahas secara jelas oleh Dworkin, namun dari tulisan-tulisannya secara ekplisit dapat dimak­nai bahwa bukan tidak mungkin hal itu juga merupakan hasil derivasi para teoretikus hukum yang lain. Dengan demikian, berarti jelas ada perbedaan antara content theory yang dimaksud dengan yang biasa digunakan dalam ilmu sosial.

Unsur penting dalam penggunaan model dan pendekatan suatu penelitian hukum, terletak pada pemahaman hakikat dan cara kerja ilmiah ilmu hukum normatif dan ilmu hukum empiris, sebagaimana telah dibahas dalam bab-bab sebelumnya. Tanpa pemahaman atas perbedaan-perbedaan yang hakiki terhadap cara kerja kedua ilmu tersebut akan berakibat pada penggunaan metode yang campur aduk. Hal ini pasti tidak akan dikehendaki oleh setiap peneliti, karena kualitas ilmiah penelitian yang dilakukannya akan sangat diragukan, sementara kesimpulan yang dibuat dalam penelitian semacam itu juga akan menyesatkan.

Kamis, 28 April 2016

Aturan Pelaksanaan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor Oleh Kepolisian Yang Benar

Pengaturan mengenai pemeriksaan atau yang sering disebut razia kendaraan bermotor di jalan dapat kita temui dalam Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan(“PP 80/2012”).

Tujuan Razia Kendaraan Bermotor

Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bertujuan:

    terpenuhinya persyaratan teknis dan laik jalan Kendaraan Bermotor;
    terpenuhinya kelengkapan dokumen registrasi dan identifikasi pengemudi dan Kendaraan Bermotor serta dokumen perizinan dan kelengkapan Kendaraan Bermotor angkutan umum;
    terdukungnya pengungkapan perkara tindak pidana; dan
    terciptanya kepatuhan dan budaya keamanan dan keselamatan berlalu lintas.

Pada dasarnya, prosedur pemeriksaan (razia) yang dilakukan pada siang hari maupun malam hari sama. Hanya terdapat sedikit perbedaan, yakni dalam hal Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan pada malam hari, petugas wajib:

    menempatkan tanda yang menunjukkan adanya pemeriksaan
    memasang lampu isyarat bercahaya kuning dan
    memakai rompi yang memantulkan cahaya.

Penjelasan lebih lanjut soal pemeriksaan kendaraan di malam hari dapat Anda simak dalam artikel Aturan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor pada Malam Hari.

Yang Berwenang Melakukan Razia Kendaraan Bermotor

Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dilakukan oleh:

    Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
    Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang melakukan Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala atau insidental atas dasar Operasi Kepolisian dan/atau penanggulangan kejahatan wajib dilengkapi dengan surat perintah tugas, yang dikeluarkan oleh:

    atasan petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia bagi petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia; dan
    atasan Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Surat Perintah Tugas

Surat perintah tugas paling sedikitnya memuat:

    alasan dan pola pemeriksaan Kendaraan Bermotor;
    waktu pemeriksaan Kendaraan Bermotor;
    tempat pemeriksaan Kendaraan Bermotor;
    penanggung jawab dalam pemeriksaan Kendaraan Bermotor; dan
    daftar Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang ditugaskan melakukan pemeriksaan Kendaraan Bermotor.

Tempat Dilakukannya Razia Kendaraan Bermotor

Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala dan insidental dilakukan di tempat dan dengan cara yang tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran lalu lintas.

-    Pada tempat Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan secara berkala dan insidental wajib dilengkapi dengan tanda yang menunjukkan adanya Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan, kecuali tertangkap tangan.

-    Tanda tersebut ditempatkan pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum tempat pemeriksaan.

-    Pemeriksaan yang dilakukan pada jalur jalan yang memiliki lajur lalu lintas dua arah yang berlawanan dan hanya dibatasi oleh marka jalan, ditempatkan tanda pada jarak paling sedikit 50 (lima puluh) meter sebelum dan sesudah tempat pemeriksaan.

-    Tanda harus ditempatkan sedemikian rupa sehingga mudah terlihat oleh pengguna jalan.

Petugas pemeriksanya sendiri pada saat melakukan pemeriksaan wajib menggunakan pakaian seragam dan atribut.

Pakaian seragam dan atribut tersebut ditetapkan oleh:

    Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia bagi Petugas Kepolisian Negara Republik Indonesia;
    Menteri bagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil di bidang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Hal-hal tersebut di atas memang harus kita perhatikan dengan saksama, terutama jika ada razia di malam hari yang dimungkinkan dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak berwenang dan tidak bertanggung jawab yang akan membahayakan diri kita.

Dasar hukum:

Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pemeriksaan Kendaraan Bermotor di Jalan dan Penindakan Pelanggaran Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.

Hak-Hak dan Kewajiban Dari Bapak Tiri dan Anak Tiri

  Ar Rabibah adalah anak perempuannya istri yang bukan dari suami yang sekarang (anak tiri). Anak tiri perempuan ini termasuk yang haram din...