UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21 TAHUN 2007
TENTANG
PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN
REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang:
a. bahwa setiap orang sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa memiliki hak-hak
asasi sesuai dengan kemuliaan harkat dan martabatnya yang dilindungi oleh undang- undang berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945;
b. . bahwa perdagangan orang, khususnya perempuan dan anak, merupakan tindakan yang bertentangan dengan harkat dan martabat manusia dan melanggar hak asasi manusia,
sehingga harus diberantas;
c.. . . . bahwa perdagangan orang telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan yang terorganisasi dan tidak terorganisasi, baik bersifat antarnegara maupun
dalam negeri, sehingga menjadi ancaman terhadap masyarakat, bangsa, dan negara, serta terhadap norma-norma
kehidupan yang dilandasi penghormatan terhadap hak asasi manusia;
d.. .. bahwa keinginan untuk mencegah dan menanggulangi tindak pidana perdagangan orang didasarkan pada nilai- nilai luhur, komitmen
nasional, dan internasional untuk melakukan upaya pencegahan sejak dini, penindakan terhadap pelaku, perlindungan korban, dan peningkatan kerja sama;
e. .
bahwa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perdagangan orang belum
memberikan landasan hukum yang menyeluruh dan terpadu bagi upaya pemberantasan
tindak pidana perdagangan orang;
f. bahwa berdasarkan
pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan
huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang;
Mengingat :
1. Pasal 20, Pasal 21, dan Pasal 28B ayat (2)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang
Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (Convention
on The Elimination of all Forms of Discrimination Against Women) (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 29, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3277);
3. Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 109, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 4235);
Dengan
Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA MEMUTUSKAN:
Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG.
BAB I KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam
Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Perdagangan Orang
adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan,
atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan,
penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga
memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain
tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan
eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
2. Tindak Pidana
Perdagangan Orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang
memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam Undang-Undang ini.
3. Korban adalah
seseorang yang mengalami penderitaan psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi,
dan/atau sosial, yang diakibatkan
tindak pidana perdagangan orang.
4.
Setiap Orang adalah orang
perseorangan atau korporasi yang melakukan tindak pidana perdagangan orang.
5. Anak adalah
seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih
dalam kandungan.
6. Korporasi adalah
kumpulan orang dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum
maupun bukan badan hukum.
7. Eksploitasi
adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak
terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik
serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ
reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ
dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh
pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immateriil.
8. Eksploitasi
Seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh
lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas
pada semua kegiatan pelacuran dan percabulan.
9. Perekrutan adalah
tindakan yang meliputi mengajak,
mengumpulkan, membawa, atau memisahkan seseorang dari keluarga atau komunitasnya.
10.
Pengiriman adalah tindakan
memberangkatkan atau melabuhkan seseorang dari satu tempat ke tempat lain.
11.
Kekerasan adalah setiap perbuatan secara melawan
hukum, dengan atau tanpa menggunakan sarana terhadap fisik dan psikis yang menimbulkan bahaya bagi nyawa, badan,
atau menimbulkan terampasnya kemerdekaan seseorang.
12.
Ancaman kekerasan adalah setiap perbuatan secara
melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik
dengan atau tanpa menggunakan sarana yang menimbulkan
rasa takut atau mengekang kebebasan
hakiki seseorang.
13. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang
dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum
tetap atas kerugian materiil dan/atau
immateriil yang diderita korban atau ahli warisnya.
14.
Rehabilitasi adalah pemulihan dari gangguan terhadap
kondisi fisik, psikis, dan sosial agar dapat melaksanakan
perannya kembali secara wajar baik dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
15. Penjeratan Utang adalah perbuatan menempatkan orang
dalam status atau keadaan menjaminkan atau terpaksa menjaminkan dirinya atau
keluarganya atau orang-orang yang menjadi tanggung jawabnya, atau jasa
pribadinya sebagai bentuk pelunasan utang.
BAB II
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
Pasal 2
(1).
Setiap orang yang melakukan perekrutan,
pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan
kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau
manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas
orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah negara
Republik Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
(2). . Jika perbuatan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Pasal 3
Setiap orang yang memasukkan orang ke wilayah negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di wilayah negara Republik Indonesia atau dieksploitasi di negara lain dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta
rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 4
Setiap orang yang membawa warga negara Indonesia ke luar wilayah
negara Republik Indonesia dengan maksud untuk dieksploitasi di luar wilayah
negara Republik Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 5
Setiap orang yang melakukan pengangkatan anak dengan menjanjikan
sesuatu atau memberikan sesuatu dengan
maksud untuk dieksploitasi dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua
puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 6
Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar
negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus
dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp600.000.000,00 (enam ratus juta
rupiah).
Pasal 7
(1). Jika tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6 mengakibatkan korban menderita luka berat, gangguan jiwa berat, penyakit menular lainnya yang membahayakan
jiwanya, kehamilan, atau terganggu atau hilangnya fungsi reproduksinya, maka
ancaman pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana dalam Pasal 2
ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2). Jika tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6 mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama penjara seumur hidup dan pidana denda
paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
Pasal 8
(1) Setiap
penyelenggara negara yang menyalahgunakan kekuasaan yang mengakibatkan
terjadinya tindak pidana perdagangan orang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6 maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga)
dari ancaman pidana dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2) Selain sanksi
pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
pelaku dapat dikenakan pidana tambahan berupa pemberhentian secara tidak dengan
hormat dari jabatannya.
(3) P idana tambahan
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dicantumkan sekaligus dalam amar putusan pengadilan
Pasal 9
Setiap orang yang berusaha menggerakkan orang lain supaya melakukan
tindak pidana perdagangan orang, dan tindak pidana itu tidak terjadi, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 6 (enam)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp240.000.000,00 (dua ratus empat puluh juta rupiah).
Pasal 10
Setiap orang yang membantu atau melakukan percobaan untuk melakukan
tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
Pasal 11
Setiap orang yang merencanakan atau melakukan permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan pidana yang
sama sebagai pelaku sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal
5, dan Pasal 6.
Pasal 12
Setiap orang yang menggunakan atau memanfaatkan korban tindak pidana
perdagangan orang dengan cara melakukan persetubuhan atau perbuatan cabul
lainnya dengan korban tindak pidana perdagangan orang, mempekerjakan korban
tindak pidana perdagangan orang untuk meneruskan praktik eksploitasi, atau
mengambil keuntungan dari hasil tindak pidana perdagangan orang dipidana dengan
pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5,
dan Pasal 6.
Pasal 13
(1) Tindak pidana
perdagangan orang dianggap dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana
tersebut dilakukan oleh orang-orang yang bertindak untuk dan/atau atas nama
korporasi atau untuk kepentingan korporasi, baik berdasarkan hubungan kerja
maupun hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik
sendiri maupun bersama-sama.
(2) Dalam hal tindak pidana perdagangan
orang dilakukan oleh suatu
korporasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1), maka penyidikan,
penuntutan, dan pemidanaan dilakukan terhadap
korporasi dan/atau pengurusnya.
Pasal 14
Dalam hal panggilan terhadap korporasi, maka pemanggilan untuk
menghadap dan penyerahan surat panggilan disampaikan kepada pengurus di tempat
pengurus berkantor, di tempat korporasi itu beroperasi, atau di tempat tinggal
pengurus.
Pasal 15
(1) .. Dalam hal tindak
pidana perdagangan orang dilakukan oleh suatu korporasi, selain pidana penjara
dan denda terhadap pengurusnya, pidana yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi
berupa pidana denda dengan pemberatan 3 (tiga) kali dari pidana denda
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 6.
(2). Selain pidana
denda sebagaimana dimaksud pada ayat (1), korporasi dapat dijatuhkan pidana
tambahan berupa:
a. pencabutan izin usaha;
b. perampasan
kekayaan hasil tindak pidana;
c. pencabutan status
badan hukum;
d. pemecatan
pengurus; dan/atau
e.
pelarangan kepada pengurus tersebut
untuk mendirikan korporasi dalam
bidang usaha yang sama.
Pasal 16
Dalam hal tindak pidana perdagangan orang dilakukan oleh kelompok
yang terorganisasi, maka setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dalam
kelompok yang terorganisasi tersebut dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ditambah 1/3 (sepertiga).
Pasal 17
Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, dan
Pasal 4 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah 1/3
(sepertiga).
Pasal 18
Korban yang melakukan tindak pidana karena dipaksa oleh
pelaku tindak pidana perdagangan orang, tidak dipidana.
BAB III
TINDAK PIDANA LAIN YANG BERKAITAN DENGAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN
ORANG
Pasal 19
Setiap orang yang memberikan atau memasukkan keterangan palsu pada
dokumen negara atau dokumen lain atau memalsukan dokumen negara atau dokumen
lain, untuk mempermudah terjadinya tindak pidana perdagangan orang, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).
Pasal 20
Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan alat
bukti palsu atau barang bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan
hukum di sidang pengadilan tindak pidana perdagangan orang, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 7 (tujuh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta rupiah).
Pasal 21
(1)
Setiap orang yang melakukan penyerangan
fisik terhadap saksi atau petugas di persidangan dalam perkara tindak
pidana perdagangan orang, dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah)
dan paling banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
(2) Jika ...
(2). Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan luka berat, maka pelaku
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10
(sepuluh) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp80.000.000,00 (delapan puluh
juta rupiah) dan paling banyak Rp400.000.000,00 (empat ratus juta rupiah).
(3). Jika perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
mengakibatkan saksi atau petugas di persidangan mati, maka pelaku dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).
Pasal 22
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau
menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka, terdakwa, atau saksi dalam
perkara perdagangan orang, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana
denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat puluh juta rupiah) dan paling
banyak Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 23
Setiap orang
yang membantu pelarian pelaku tindak pidana perdagangan orang dari proses
peradilan pidana dengan:
a.. memberikan atau meminjamkan uang, barang, atau harta kekayaan lainnya kepada pelaku.
b. menyediakan tempat tinggal bagi pelaku.
c. menyembunyikan
pelaku; atau.
d. menyembunyikan
informasi keberadaan pelaku,
dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp40.000.000,00 (empat
puluh juta
rupiah) dan paling banyak
Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).
Pasal 24
Setiap orang yang memberitahukan identitas saksi atau korban padahal
kepadanya telah diberitahukan, bahwa identitas saksi atau korban tersebut harus
dirahasiakan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3
(tiga) tahun dan paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit
Rp120.000.000,00 (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak
Rp280.000.000,00 (dua ratus delapan puluh juta
rupiah).
Pasal 25
Jika terpidana tidak mampu membayar pidana denda, maka terpidana
dapat dijatuhi pidana pengganti kurungan paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 26
Persetujuan korban perdagangan orang tidak menghilangkan penuntutan
tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 27
Pelaku tindak pidana perdagangan orang kehilangan hak tagihnya atas
utang atau perjanjian lainnya terhadap korban, jika utang atau perjanjian
lainnya tersebut digunakan untuk mengeksploitasi korban.
BAB IV
PENYIDIKAN, PENUNTUTAN, DAN PEMERIKSAAN DI SIDANG PENGADILAN
Pasal 28
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan dalam
perkara tindak pidana perdagangan orang, dilakukan berdasarkan Hukum Acara
Pidana yang berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 29
Alat bukti selain sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dapat pula berupa:
a. Informasi yang
diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat
optik atau yang serupa dengan itu; dan
b. Data, rekaman,
atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat
dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas
kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik,
termasuk tidak terbatas pada:
1)
tulisan, suara, atau gambar;
2)
peta, rancangan, foto, atau sejenisnya; atau
3)
huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang
memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya.
Pasal 30
Sebagai salah satu alat bukti yang sah, keterangan seorang saksi
korban saja sudah cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah, apabila
disertai dengan satu alat bukti yang sah lainnya.
Pasal 31
(1)
Berdasarkan bukti permulaan yang cukup penyidik
berwenang menyadap telepon atau alat komunikasi lain yang diduga digunakan
untuk mempersiapkan, merencanakan, dan melakukan tindak pidana perdagangan orang.
(2)
Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1), hanya dilakukan atas izin tertulis ketua pengadilan untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 32 ...
Pasal 32
Penyidik, penuntut umum, atau hakim berwenang memerintahkan kepada
penyedia jasa keuangan untuk melakukan pemblokiran
terhadap harta kekayaan setiap orang yang disangka atau didakwa melakukan
tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 33
(1)
Dalam penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di
sidang pengadilan, pelapor berhak dirahasiakan nama dan alamatnya atau hal-hal
lain yang memberikan kemungkinan dapat diketahuinya identitas pelapor.
(2)
Dalam hal pelapor meminta dirahasiakan nama dan
alamatnya atau hal-hal lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kewajiban
merahasiakan identitas tersebut diberitahukan kepada saksi dan orang lain yang
bersangkutan dengan tindak pidana perdagangan orang sebelum pemeriksaan oleh
pejabat yang berwenang yang melakukan pemeriksaan.
Pasal 34
Dalam hal saksi dan/atau korban tidak dapat dihadirkan dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan, keterangan saksi dapat diberikan secara jarak
jauh melalui alat komunikasi audio visual.
Pasal 35
Selama proses penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
pengadilan, saksi dan/atau korban berhak didampingi oleh advokat dan/atau
pendamping lainnya yang dibutuhkan.
Pasal 36
(1)
Selama proses penyidikan, penuntutan, dan
pemeriksaan di depan sidang pengadilan, korban berhak mendapatkan informasi
tentang perkembangan kasus yang melibatkan dirinya.
(2) Informasi ...
(2) Informasi tentang perkembangan kasus
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
berupa pemberian salinan berita acara setiap tahap pemeriksaan.
Pasal 37
(1) Saksi dan/atau korban berhak meminta kepada hakim
ketua sidang untuk memberikan keterangan di depan sidang pengadilan tanpa
kehadiran terdakwa.
(2) Dalam hal saksi dan/atau korban akan memberikan
keterangan tanpa kehadiran terdakwa, hakim ketua sidang memerintahkan terdakwa
untuk keluar ruang sidang.
(3)
Pemeriksaan terdakwa sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) dapat dilanjutkan setelah kepada terdakwa diberitahukan semua keterangan
yang diberikan saksi dan/atau korban pada waktu terdakwa berada di luar ruang
sidang pengadilan.
Pasal 38
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan
terhadap saksi dan/atau korban anak dilakukan dengan memperhatikan kepentingan
yang terbaik bagi anak dengan tidak memakai toga atau pakaian dinas.
Pasal 39
(1) Sidang tindak pidana perdagangan orang untuk
memeriksa saksi dan/atau korban anak dilakukan dalam sidang tertutup.
(2) Dalam hal pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) saksi dan/atau korban anak wajib didampingi orang tua, wali, orang tua
asuh, advokat, atau pendamping lainnya.
(3) Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan tanpa kehadiran terdakwa.
Pasal 40
(1)
Pemeriksaan terhadap saksi dan/atau korban anak,
atas persetujuan hakim, dapat dilakukan di luar sidang pengadilan dengan perekaman.
(2)
Pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan di hadapan pejabat yang berwenang.
Pasal 41
(1)
Dalam hal terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut, tidak hadir di sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah, maka perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran
terdakwa.
(2)
Dalam hal terdakwa hadir pada sidang berikutnya
sebelum putusan dijatuhkan, maka terdakwa wajib diperiksa, dan segala
keterangan saksi dan surat yang dibacakan dalam sidang sebelumnya dianggap
sebagai alat bukti yang diberikan dengan kehadiran terdakwa.
Pasal 42
Putusan yang dijatuhkan tanpa kehadiran terdakwa diumumkan oleh penuntut
umum pada papan pengumuman pengadilan, kantor Pemerintah Daerah, atau
diberitahukan kepada keluarga atau kuasanya.
BAB V PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN
Pasal 43
Ketentuan mengenai perlindungan saksi dan korban dalam perkara
tindak pidana perdagangan orang dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, kecuali ditentukan lain dalam Undang-Undang ini.
Pasal 44
(1)
Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan
orang berhak memperoleh kerahasiaan identitas.
(2)
Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan
juga kepada keluarga saksi dan/atau korban sampai dengan derajat kedua, apabila
keluarga saksi dan/atau korban mendapat
ancaman baik fisik maupun psikis dari orang lain yang berkenaan dengan
keterangan saksi dan/atau korban.
Pasal 45
(1)
Untuk melindungi saksi dan/atau korban, di setiap
provinsi dan kabupaten/kota wajib dibentuk ruang pelayanan khusus pada kantor
kepolisian setempat guna melakukan pemeriksaan di tingkat penyidikan bagi saksi
dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang.
(2)
Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan ruang
pelayanan khusus dan tata cara pemeriksaan saksi dan/atau korban diatur dengan
Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pasal 46
(1). Untuk melindungi
saksi dan/atau korban, pada setiap
kabupaten/kota dapat dibentuk pusat pelayanan terpadu bagi saksi dan/atau
korban tindak pidana perdagangan orang.
(2). Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata cara dan mekanisme pelayanan terpadu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 47
Dalam hal saksi dan/atau korban beserta keluarganya mendapatkan
ancaman yang membahayakan diri, jiwa, dan/atau hartanya, Kepolisian Negara
Republik Indonesia wajib memberikan perlindungan, baik sebelum, selama, maupun
sesudah proses pemeriksaan perkara.
Pasal 48
(1)
Setiap korban tindak pidana
perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi.
(2)
Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa
ganti kerugian atas:
a.
kehilangan kekayaan atau penghasilan;
b.
penderitaan;
c.
biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau
psikologis; dan/atau
d.
kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
(3)
Restitusi tersebut diberikan dan dicantumkan
sekaligus dalam amar putusan pengadilan tentang perkara tindak pidana
perdagangan orang.
(4) Pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama.
(5)
Restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dapat
dititipkan terlebih dahulu di pengadilan tempat perkara diputus.
(6)
Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 (empat belas)
hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan
hukum tetap.
(7)
Dalam hal pelaku diputus bebas oleh pengadilan
tingkat banding atau kasasi, maka hakim memerintahkan dalam putusannya agar
uang restitusi yang dititipkan dikembalikan kepada yang bersangkutan.
Pasal 49
(1) Pelaksanaan pemberian restitusi dilaporkan kepada
ketua pengadilan yang memutuskan perkara, disertai dengan tanda bukti
pelaksanaan pemberian restitusi tersebut.
(2)
Setelah ketua pengadilan menerima tanda bukti
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ketua pengadilan mengumumkan pelaksanaan
tersebut di papan pengumuman pengadilan yang bersangkutan.
(3)
Salinan tanda bukti pelaksanaan
pemberian restitusi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan oleh
pengadilan kepada korban atau ahli warisnya.
Pasal 50
(1)
Dalam hal pelaksanaan pemberian restitusi kepada
pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 48 ayat (6), korban atau ahli warisnya
memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan.
(2)
Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban
memberikan restitusi kepada korban atau ahli
warisnya.
(3)
Dalam hal surat peringatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) tidak dilaksanakan dalam waktu 14 (empat belas) hari, pengadilan
memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang
harta tersebut untuk pembayaran restitusi.
(4)
Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka
pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
Pasal 51
(1)
Korban berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan,
rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila
yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak
pidana perdagangan orang.
(2)
Hak-hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan
oleh korban atau keluarga korban, teman korban, kepolisian, relawan pendamping,
atau pekerja sosial setelah korban melaporkan kasus yang dialaminya atau pihak
lain melaporkannya kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia.
(3)
Permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
diajukan kepada pemerintah melalui menteri atau instansi yang menangani
masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah.
Pasal 52
(1) Menteri atau instansi yang menangani rehabilitasi
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib memberikan rehabilitasi
kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial paling
lambat 7 (tujuh) hari terhitung
sejak diajukan permohonan.
(2)
Untuk ...
(2) Untuk penyelenggaraan pelayanan rehabilitasi
kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membentuk rumah
perlindungan sosial atau pusat trauma.
(3) Untuk penyelenggaraan pelayanan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), masyarakat atau lembaga-lembaga pelayanan sosial lainnya dapat
pula membentuk rumah perlindungan
sosial atau pusat trauma.
Pasal 53
Dalam hal korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan
dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan
segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan
sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat 7 (tujuh) hari
setelah permohonan
diajukan.
Pasal 54
(1) Dalam hal korban berada di luar negeri
memerlukan perlindungan hukum akibat tindak
pidana perdagangan orang, maka Pemerintah Republik Indonesia
melalui perwakilannya di luar negeri
wajib melindungi pribadi dan kepentingan korban, dan mengusahakan untuk memulangkan korban ke
Indonesia atas biaya negara.
(2) Dalam hal korban adalah warga negara asing yang berada di Indonesia, maka
Pemerintah Republik Indonesia mengupayakan
perlindungan dan pemulangan ke negara asalnya melalui koordinasi dengan
perwakilannya di Indonesia.
(3) Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, hukum
internasional, atau kebiasaan internasional.
Pasal 55 ...
Pasal 55
Saksi dan/atau korban tindak pidana perdagangan orang, selain
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini juga berhak mendapatkan hak dan
perlindungan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lain.
BAB VI
PENCEGAHAN DAN PENANGANAN
Pasal 56
Pencegahan tindak pidana perdagangan orang bertujuan mencegah sedini
mungkin terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 57
(1)
Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan
keluarga wajib mencegah terjadinya tindak pidana perdagangan orang.
(2)
Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib membuat
kebijakan, program, kegiatan, dan mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan
pencegahan dan penanganan masalah perdagangan
orang.
Pasal 58
(1)
Untuk melaksanakan pemberantasan tindak pidana
perdagangan orang, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengambil
langkah-langkah untuk pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang.
(2)
Untuk mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan
langkah- langkah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pemerintah membentuk gugus
tugas yang beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah, penegak hukum, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/
akademisi.
(3) Pemerintah ...
(3) Pemerintah Daerah membentuk gugus tugas yang
beranggotakan wakil-wakil dari pemerintah daerah, penegak hukum, organisasi
masyarakat, lembaga swadaya
masyarakat, organisasi profesi, dan peneliti/akademisi.
(4) Gugus tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat
(3) merupakan
lembaga koordinatif yang bertugas:
a. mengoordinasikan upaya pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan orang;
b. melaksanakan advokasi, sosialisasi, pelatihan, dan kerja sama;
c. memantau perkembangan pelaksanaan perlindungan korban meliputi rehabilitasi, pemulangan, dan reintegrasi sosial;
d. memantau perkembangan pelaksanaan penegakan hukum; serta
e. melaksanakan pelaporan dan evaluasi.
(5) Gugus tugas pusat
dipimpin oleh seorang menteri atau pejabat setingkat menteri yang ditunjuk
berdasarkan Peraturan Presiden.
(6) Guna
mengefektifkan dan menjamin pelaksanaan langkah- langkah sebagaimana dimaksud
pada ayat (2), Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengalokasikan anggaran
yang diperlukan.
(7) Ketentuan lebih
lanjut mengenai pembentukan, susunan organisasi, keanggotaan, anggaran, dan
mekanisme kerja gugus tugas pusat dan daerah diatur dengan Peraturan Presiden.
BAB VII
KERJA SAMA INTERNASIONAL DAN
PERAN SERTA MASYARAKAT
Bagian Kesatu
Kerja Sama Internasional
Pasal 59
(1) Untuk mengefektifkan penyelenggaraan pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana perdagangan orang, Pemerintah Republik Indonesia
wajib melaksanakan kerja sama internasional, baik yang bersifat bilateral,
regional, maupun multilateral.
(2) Kerja sama ...
(2) Kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan dalam bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah
pidana dan/atau kerja sama teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
Bagian Kedua Peran Serta Masyarakat
Pasal 60
(1)
Masyarakat berperan serta membantu upaya pencegahan
dan penanganan korban tindak pidana perdagangan orang.
(2)
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) diwujudkan dengan tindakan memberikan informasi dan/atau melaporkan
adanya tindak pidana perdagangan orang kepada penegak hukum atau pihak yang
berwajib, atau turut serta dalam menangani korban tindak pidana perdagangan orang.
Pasal 61
Untuk tujuan pencegahan dan penanganan korban tindak pidana
perdagangan orang, Pemerintah wajib membuka akses seluas- luasnya bagi peran
serta masyarakat, baik nasional maupun internasional sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang- undangan, hukum, dan kebiasaan internasional yang berlaku.
Pasal 62
Untuk melaksanakan peran serta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60
dan Pasal 61, masyarakat berhak untuk memperoleh perlindungan hukum.
Pasal 63
Peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 dan Pasal
61 dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
BAB VIII ...
BAB VIII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 64
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, perkara tindak pidana
perdagangan orang yang masih dalam proses penyelesaian di tingkat penyidikan,
penuntutan, atau pemeriksaan di sidang pengadilan, tetap diperiksa berdasarkan
undang-undang yang mengaturnya.
BAB IX
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 65
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, maka Pasal 297 dan
Pasal 324 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan
Hukum Pidana (Berita Negara Republik
Indonesia lI Nomor 9) jo
Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang
Menyatakan Berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1946 tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik
Indonesia dan Mengubah Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1958 Nomor
127, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 1660) yang telah beberapa kali diubah dan ditambah, terakhir dengan Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana yang Berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan Negara (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 74, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3850) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 66
Peraturan pelaksanaan yang diamanatkan oleh Undang-Undang ini harus diterbitkan selambat-lambatnya dalam 6
(enam) bulan setelah Undang-Undang ini berlaku.
Pasal 67
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar ...
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 19 April 2007 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO
BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan
di Jakarta pada tanggal 19 April 2007
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
HAMID AWALUDIN
LEMBARAN NEGARA
REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 58
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 21
TAHUN 2007
TENTANG
PEMBERANTASAN
TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG
I.
UMUM
Perdagangan orang adalah bentuk modern dari
perbudakan manusia. Perdagangan orang juga merupakan salah satu bentuk
perlakuan terburuk dari pelanggaran harkat dan martabat manusia.
Bertambah maraknya masalah perdagangan orang di
berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang sedang berkembang
lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat
internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB).
Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah
kelompok yang paling banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang.
Korban diperdagangkan tidak hanya untuk tujuan pelacuran atau bentuk
eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk eksploitasi lain,
misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik serupa
perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan,
pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan
menjebak, menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik
eksploitasi dengan segala bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan
kekerasan, penculikan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau
posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat sehingga memperoleh
persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.
Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa atau
pelayanan paksa, perbudakan, dan praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa
atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja yang timbul melalui cara, rencana,
atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa jika ia tidak
melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya
akan menderita baik secara fisik maupun psikis.
Perbudakan ...
Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain.
Praktik serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan
orang lain sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang
secara melawan hukum diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun
orang tersebut tidak menghendakinya.
Tindak pidana perdagangan orang, khususnya perempuan
dan anak, telah meluas dalam bentuk jaringan kejahatan baik terorganisasi
maupun tidak terorganisasi. Tindak pidana perdagangan orang bahkan melibatkan
tidak hanya perorangan tetapi juga korporasi dan penyelenggara negara yang
menyalahgunakan wewenang dan kekuasaannya. Jaringan pelaku tindak pidana
perdagangan orang memiliki jangkauan operasi tidak hanya antarwilayah dalam
negeri tetapi juga antarnegara.
Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada
dasarnya telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pasal 297
KUHP menentukan mengenai larangan perdagangan wanita dan anak laki- laki belum
dewasa dan mengkualifikasikan tindakan tersebut sebagai kejahatan. Pasal 83
Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menentukan larangan
memperdagangkan, menjual, atau menculik anak untuk diri sendiri atau untuk
dijual. Namun, ketentuan KUHP dan
Undang-Undang Perlindungan Anak tersebut tidak merumuskan pengertian
perdagangan orang yang tegas secara hukum. Di samping itu, Pasal 297 KUHP
memberikan sanksi yang terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang
diderita korban akibat kejahatan perdagangan orang. Oleh karena itu, diperlukan undang-undang khusus tentang
tindak pidana perdagangan orang yang mampu menyediakan landasan hukum materiil dan formil sekaligus. Untuk
tujuan tersebut, undang-undang khusus ini mengantisipasi dan menjerat semua
jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk eksploitasi yang mungkin
terjadi dalam praktik perdagangan orang, baik yang dilakukan antarwilayah dalam
negeri maupun secara antarnegara, dan baik oleh pelaku perorangan maupun korporasi.
Undang-Undang ini mengatur perlindungan saksi dan
korban sebagai aspek penting dalam penegakan hukum, yang dimaksudkan untuk
memberikan perlindungan dasar kepada korban dan saksi. Selain itu,
Undang-Undang ini juga memberikan perhatian yang besar terhadap penderitaan
korban sebagai akibat tindak pidana perdagangan orang dalam bentuk hak
restitusi yang harus diberikan oleh pelaku tindak pidana perdagangan orang
sebagai ganti kerugian bagi korban, dan mengatur juga hak korban atas
rehabilitasi medis dan sosial, pemulangan serta reintegrasi yang harus
dilakukan oleh negara khususnya bagi mereka yang mengalami penderitaan fisik,
psikis, dan sosial akibat tindak pidana perdagangan orang.
Pencegahan
...
Pencegahan dan penanganan tindak pidana perdagangan
orang merupakan tanggung jawab Pemerintah, Pemerintah Daerah, masyarakat, dan
keluarga. Untuk mewujudkan langkah-langkah yang komprehensif dan terpadu dalam
pelaksanaan pencegahan dan penanganan tersebut
perlu dibentuk gugus tugas. Tindak pidana perdagangan orang merupakan
kejahatan yang tidak saja terjadi dalam satu wilayah negara melainkan juga
antarnegara. Oleh karena itu, perlu dikembangkan kerja sama internasional dalam
bentuk perjanjian bantuan timbal balik dalam masalah pidana dan/atau kerja sama
teknis lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Penyusunan Undang-Undang ini juga merupakan
perwujudan komitmen Indonesia untuk melaksanakan Protokol PBB tahun 2000
tentang Mencegah, Memberantas dan Menghukum Tindak Pidana Perdagangan Orang,
khususnya Perempuan dan Anak (Protokol Palermo) yang telah ditandatangani
Pemerintah Indonesia.
II.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini, kata “untuk tujuan” sebelum frasa
“mengeskploitasi orang tersebut” menunjukkan bahwa tindak pidana perdagangan
orang merupakan delik formil, yaitu adanya tindak pidana perdagangan orang
cukup dengan dipenuhinya unsur-unsur perbuatan yang sudah dirumuskan, dan tidak
harus menimbulkan akibat.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 3
Ketentuan ini
dimaksudkan bahwa wilayah negara Republik Indonesia adalah sebagai negara
tujuan atau transit.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Yang dimaksud dengan frasa “pengiriman anak ke dalam negeri” dalam
ketentuan ini adalah pengiriman anak antardaerah dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
Pasal 7
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “luka berat” dalam ketentuan ini adalah:
a.
jatuh sakit atau mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali atau yang
menimbulkan bahaya maut;
b.
tidak mampu terus-menerus untuk menjalankan tugas
jabatan atau pekerjaan pencaharian;
c.
kehilangan salah satu pancaindera;
d.
mendapat cacat berat;
e.
menderita sakit lumpuh;
f.
mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan
sekurang- kurangnya selama 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun
tidak berturut-turut; atau
g. gugur atau
matinya janin dalam kandungan seorang perempuan atau mengakibatkan tidak
berfungsinya alat reproduksi.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 8
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “penyelenggara negara” dalam ketentuan ini
adalah pejabat pemerintah, anggota Tentara Nasional Indonesia, anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia, aparat keamanan, penegak hukum atau
pejabat publik yang menyalahgunakan kekuasaannya untuk melakukan atau
mempermudah tindak pidana perdagangan orang.
Yang dimaksud dengan “menyalahgunakan kekuasaan” dalam ketentuan ini
adalah menjalankan kekuasaan yang ada padanya secara tidak sesuai tujuan
pemberian kekuasaan tersebut atau menjalankannya secara tidak sesuai ketentuan peraturan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “pencabutan izin usaha, perampasan kekayaan
hasil tindak pidana, pencabutan status badan hukum, pemecatan pengurus,
dan/atau pelarangan pengurus tersebut mendirikan korporasi dalam bidang usaha
yang sama” dalam ketentuan ini
dilakukan sesuai dengan peraturan perundang- undangan.
Pasal 16
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan “kelompok yang
terorganisasi” adalah kelompok terstruktur yang terdiri dari 3 (tiga) orang
atau lebih, yang eksistensinya untuk waktu tertentu dan bertindak dengan tujuan
melakukan satu atau lebih tindak pidana yang diatur dalam Undang-Undang ini
dengan tujuan memperoleh keuntungan materiil atau finansial baik langsung
maupun tidak langsung.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Yang dimaksud dengan “dipaksa” dalam ketentuan ini adalah suatu
keadaan di mana seseorang/korban disuruh melakukan sesuatu sedemikian rupa
sehingga orang itu melakukan sesuatu berlawanan dengan kehendak sendiri.
Pasal 19
Yang dimaksud dengan “dokumen negara” dalam ketentuan ini meliputi
tetapi tidak terbatas pada paspor, kartu tanda penduduk, ijazah, kartu
keluarga, akte kelahiran, dan surat nikah.
Yang dimaksud dengan “dokumen lain” dalam ketentuan ini meliputi
tetapi tidak terbatas pada surat perjanjian kerja bersama, surat permintaan
tenaga kerja Indonesia, asuransi, dan dokumen yang terkait.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “petugas di persidangan” adalah hakim, penuntut
umum, panitera, pendamping korban, advokat, polisi, yang sedang bertugas dalam
persidangan tindak pidana perdagangan orang.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Ketentuan ini berlaku juga bagi pemberitahuan identitas korban atau
saksi kepada media massa.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Dalam ketentuan ini, korban tetap memiliki hak tagih atas utang atau
perjanjian jika pelaku memiliki kewajiban atas utang atau perjanjian lainnya
terhadap korban.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Yang dimaksud dengan “data, rekaman, atau informasi yang dapat
dilihat, dibaca, dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa
bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun
selain kertas, atau yang terekam secara elektronik” dalam ketentuan ini
misalnya: data yang tersimpan di komputer, telepon, atau peralatan elektronik
lainnya, atau catatan lainnya seperti:
a. catatan rekening
bank, catatan usaha, catatan keuangan, catatan kredit atau utang, atau catatan
transaksi yang terkait dengan seseorang atau korporasi yang diduga terlibat di
dalam perkara tindak pidana perdagangan orang;
b. catatan
pergerakan, perjalanan, atau komunikasi oleh seseorang atau organisasi yang
diduga terlibat di dalam tindak pidana menurut Undang-Undang ini; atau
c. dokumen,
pernyataan tersumpah atau bukti-bukti lainnya yang didapat dari negara asing,
yang mana Indonesia memiliki kerja sama dengan pihak-pihak berwenang negara
tersebut sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang yang berkaitan dengan
bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Yang
dimaksud dengan “penyedia jasa keuangan” antara lain, bank, perusahaan efek,
reksa dana, kustodian, dan pedagang valuta asing.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Yang dimaksud dengan “pendamping lainnya” antara lain psikolog,
psikiater, ahli kesehatan, rohaniwan, dan anggota keluarga.
Pasal 36
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “korban berhak mendapatkan informasi tentang
perkembangan kasus yang melibatkan dirinya” dalam ketentuan ini adalah korban
yang menjadi saksi dalam proses peradilan tindak pidana perdagangan orang.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “informasi tentang perkembangan kasus setiap
tahap pemeriksaan” dalam ketentuan ini antara lain, berupa salinan berita acara
pemeriksaan atau resume hasil pemeriksaan pada tingkat penyidikan, dakwaan dan
tuntutan, serta putusan pengadilan.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Yang dimaksud “perekaman“ dalam ayat ini dapat dilakukan dengan alat
rekam audio, dan/atau audio visual.
Ayat (2)
Yang dimaksud “pejabat yang berwenang“ adalah penyidik atau penuntut
umum.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ketentuan ini dimaksudkan untuk:
a. memungkinkan
bahwa terdakwa yang melarikan diri mengetahui putusan tersebut; atau
b. memberikan ...
b.
memberikan tambahan hukuman kepada terdakwa berupa
“pencideraan nama baiknya” atas perilaku terdakwa yang tidak kooperatif dengan
proses hukum.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Dalam ketentuan ini, mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan
sejak korban melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik
Indonesia setempat dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan penanganan
tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum memberitahukan kepada korban
tentang haknya untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum
menyampaikan jumlah kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana
perdagangan orang bersamaan dengan tuntutan. Mekanisme ini tidak menghilangkan
hak korban untuk mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “kerugian lain” dalam ketentuan ini
misalnya:
a.
kehilangan harta
milik;
b.
biaya transportasi
dasar;
c.
biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan
dengan proses hukum; atau
d.
kehilangan penghasilan yang
dijanjikan pelaku. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Dalam ketentuan ini, penitipan restitusi dalam bentuk uang di
pengadilan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Ketentuan
ini disamakan dengan proses penanganan perkara perdata dalam konsinyasi.
Ayat (6)
Restitusi dalam ketentuan ini merupakan pembayaran riil (faktual)
dari jumlah restitusi yang diputus yang sebelumnya dititipkan pada pengadilan
tingkat pertama.
Ayat (7)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi kesehatan” dalam ketentuan ini
adalah pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis.
Yang dimaksud dengan “rehabilitasi sosial” dalam ketentuan ini
adalah pemulihan dari gangguan terhadap kondisi mental sosial dan pengembalian
keberfungsian sosial agar dapat melaksanakan perannya kembali secara wajar baik
dalam keluarga maupun dalam masyarakat.
Yang dimaksud dengan “reintegrasi sosial” dalam ketentuan ini adalah
penyatuan kembali korban tindak pidana perdagangan orang kepada pihak keluarga atau pengganti keluarga yang dapat
memberikan perlindungan dan pemenuhan kebutuhan bagi korban. Hak atas
“pemulangan” harus dilakukan dengan memberi jaminan bahwa korban benar-benar
menginginkan pulang, dan tidak beresiko bahaya yang lebih besar bagi korban tersebut.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini permohonan rehabilitasi dapat dimintakan oleh
korban atau kuasa hukumnya dengan melampirkan bukti laporan kasusnya kepada
kepolisian.
Ayat (3)
Yang dimaksud dengan “pemerintah” dalam ketentuan ini adalah
instansi yang bertanggung jawab dalam bidang kesehatan, dan/atau penanggulangan
masalah-masalah sosial, dan dapat dilaksanakan secara bersama-sama antara
penyelenggara kewenangan tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota khususnya
dari mana korban berasal atau bertempat tinggal.
Pasal 52
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Dalam ketentuan ini, pembentukan rumah perlindungan sosial atau
pusat trauma dilakukan sesuai dengan kebutuhan masing-masing daerah, dengan
memperhatikan asas prioritas. Dalam hal daerah telah mempunyai rumah
perlindungan sosial atau pusat trauma, maka pemanfaatan rumah perlindungan
sosial atau pusat trauma perlu dioptimalkan sesuai dengan Undang-Undang ini.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perwakilannya di luar negeri” dalam ketentuan
ini adalah kedutaan besar, konsulat jenderal, kantor penghubung, kantor dagang
atau semua kantor diplomatik atau kekonsuleran lainnya yang sesuai peraturan
perundang-undangan menjalankan mandat Pemerintah Republik Indonesia untuk
melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi
permasalahan hukum di luar negeri.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 55
Yang dimaksud dengan “peraturan perundang-undangan lain” dalam
ketentuan ini mengacu pula pada undang-undang yang mengatur perlindungan saksi
dan/atau korban.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah” dalam ketentuan ini adalah
instansi yang menjalankan urusan antara lain, di bidang pendidikan,
pemberdayaan perempuan, dan ketenagakerjaan, hukum dan hak asasi manusia,
komunikasi dan informasi.
Yang dimaksud dengan “Pemerintah Daerah” dalam ketentuan
ini meliputi provinsi dan kabupaten/kota.
Ayat (2)
Yang dimaksud dengan “penanganan” meliputi antara lain, kegiatan
pemantauan, penguatan, dan peningkatan kemampuan penegak hukum dan para
pemangku kepentingan lain.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “Pemerintah Republik Indonesia” dalam ketentuan
ini adalah pejabat yang oleh Presiden diberikan kewenangan penyelenggaraan
hubungan luar negeri dan pelaksanaan politik luar negeri Pemerintah Republik
Indonesia berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Ayat (2)
Yang dimaksud
dengan “bantuan timbal balik dalam masalah pidana” dalam ketentuan ini
misalnya:
a. pengambilan
alat/barang bukti dan untuk mendapatkan pernyataan dari orang;
b. pemberian dokumen
resmi dan catatan hukum lain yang terkait;
c.
pengidentifikasian orang dan lokasi;
d. pelaksanaan
permintaan untuk penyelidikan dan penyitaan dan pemindahan barang bukti berupa
dokumen dan barang;
e.
upaya pemindahan hasil kejahatan;
f.
upaya persetujuan dari orang yang bersedia
memberikan kesaksian atau membantu penyidikan oleh pihak peminta dan jika orang
itu berada dalam tahanan mengatur pemindahan sementara ke pihak peminta;
g. penyampaian dokumen;
h. penilaian
ahli dan pemberitahuan hasil dari proses acara pidana; dan
i. bantuan ...
i.
bantuan lain sesuai dengan tujuan bantuan timbal
balik dalam masalah pidana.
Pasal 60
Cukup jelas.
Pasal 61
Cukup jelas.
Pasal 62
Yang dimaksud
dengan “perlindungan hukum” dalam ketentuan ini dapat berupa perlindungan atas:
a.
keamanan pribadi;
b.
kerahasiaan identitas diri; atau
c.
penuntutan hukum sebagai akibat melaporkan secara
bertanggung jawab tindak pidana perdagangan
orang.
Pasal 63
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Cukup jelas.
Pasal 67
Cukup jelas.
TAMBAHAN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4720