Dalam hal ini,
apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang memiliki
hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris. Jika ingin dilakukan
penjualan, maka SELURUH AHLI WARIS YANG LAIN HARUS HADIR UNTUK
MEMBERIKAN PERSETUJUAN. Dalam hal salah seorang ahli waris
tidak bisa hadir di hadapan PPAT pembuat akta tersebut (karena berada
di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan
di bawah tangan yang dilegalisir notaris setempat atau dibuat Surat persetujuan
dalam bentuk akta notaris.
Jika ada pihak yang
menjual tanah warisan tersebut tanpa persetujuan para ahli waris, para ahli
waris dapat menggugat secara perdata atas dasar perbuatan melawan hukum.
Mengenai apakah Anda dapat menarik kembali hak milik atas tanah yang telah
dijual, hal itu bergantung pada apa yang Anda minta dalam petitum gugatan Anda
dan bergantung pada putusan hakim.
“Pewaris” adalah pihak yang
mendapatkan warisan, yang kemudian selanjutnya disebut dengan ahli
waris.
Apabila terjadi jual beli tidak
menyertakan sertifikat tanah yang sebenarnya sudah ada, serta belum
ditandatanganinya surat jual beli oleh para ahli waris. Ini berarti jual beli
tersebut sebenarnya belum terjadi karena belum ada tanda tangan dari para ahli
waris sebagai bentuk kesepakatan. Dapat asumsikan juga bahwa tidak ada
persetujuan dari ahli waris mengenai jual beli tanah warisan tersebut.
Perlu diketahui
bahwa dalam jual beli tanah, perbuatan hukum jual beli tersebut dilakukan
dengan dibuatnya akta Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”), sebagaimana diatur
dalamPasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 tentang
Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah dan Pasal
95 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Negara
Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“Permen
Agraria 3/1997”). Akta PPAT tersebut adalah bukti adanya peralihan hak atas tanah karena
jual beli tersebut.
Dalam proses jual
beli tersebut, menurut Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn. dalam
bukunya Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Mengatasi Masalah Hukum
Pertanahan (hal. 17-21), sebagaimana kami sarikan, dalam transaksi
jual beli tanah, PPAT akan meminta dokumen-dokumen sebagai berikut:
1. Data Tanah:
a. PBB asli lima tahun
terakhir berikut Surat Tanda Terima Setoran (bukti bayarnya);
b. Sertifikat Asli Tanah;
c. Asli Izin Mendirikan
Bangunan (IMB) (optional);
d. Bukti Pembayaran Rekening
Listrik, Telepon, Air (bila ada);
e. Sertifikat Hak Tanggungan
jika masih dibebani hak tanggungan.
2. Data Penjual dan
Pembeli:
a. Fotokopi Kartu Tanda
Penduduk suami/istri Penjual dan Pembeli;
b. Fotokopi Kartu Keluarga
dan Akta Nikah;
c. Fotokopi NPWP Penjual dan
Pembeli.
Dibutuhkan data
diri penjual karena pada dasarnya pihak yang dapat menjual suatu benda (menjual
merupakan tindakan kepemilikan) adalah orang yang memiliki hak milik atas benda
tersebut.
Hal senada juga
ditegaskan Prof. Subekti, S.H. dalam bukunya Pokok-Pokok
Hukum Perdata (hal 69), yaitu bahwa eigendom (hak milik) adalah hak
yang paling sempurna atas suatu benda. Orang yang mempunyai hak milik atas
suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan,
memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau
hak orang lain.
Hal ini juga
didukung oleh Pasal 1471 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHPer”), yang berbicara
mengenai jual beli, yang secara implisit mempersyaratkan bahwa penjual haruslah
pemilik dari barang yang dijual:
Jual beli atas barang orang lain adalah batal dan dapat memberikan dasar
kepada pembeli untuk menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga, jika ia
tidak mengetahui bahwa barang itu kepunyaan orang lain.
Dalam hal ini,
apabila tanah tersebut dijual setelah menjadi tanah warisan, maka yang
memiliki hak milik atas tanah tersebut adalah para ahli waris sebagaimana
diatur dalamPasal 833 ayat (1) jo. Pasal 832 ayat (1) KUHPer:
Pasal 833 ayat (1) KUHPer:
Para ahli waris, dengan sendirinya karena hukum, mendapat hak miik atas
semua barang, semua hak dan semua piutang orang yang meninggal.
Pasal 832 ayat (1) KUHPer:
Menurut undang-undang, yang berhak menjadi ahli waris ialah keluarga
sedarah, baik yang sah menurut undang-undang maupun yang di luar perkawinan,
dan suami atau isteri yang hidup terlama, menurut peraturan-peraturan berikut
ini.
Oleh karena itu,
seharusnya jual beli tanah warisan ini disetujui oleh semua ahli waris sebagai
pihak yang mendapatkan hak milik atas tanah tersebut akibat pewarisan. Irma
Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., dalam bukunya Kiat-Kiat Cerdas,
Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris (hal. 176-177),
sebagaimana kami sarikan, mengatakan jika ingin dilakukan penjualan atau
misalnya tanah tersebut akan dijadikan sebagai agunan di bank, maka seluruh
ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan. Dalam
hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan PPAT pembuat
akta tersebut (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut
dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tangan yang dilegalisir notaris
setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk akta notaris.
Jika jual beli
tersebut telah terjadi dan tanpa tanda tangan para ahli warisnya sebagai
pemiliknya (karena tidak ada persetujuan dari para ahli waris), maka tanah
tersebut dijual oleh orang yang tidak berhak untuk menjualnya. Oleh karena itu,
berdasarkanPasal 1471 KUHPer di atas, jual beli tersebut
batal. Dengan batalnya jual beli tersebut, maka jual beli tersebut dianggap
tidak pernah ada, dan masing-masing pihak dikembalikan ke keadaannya semula
sebelum terjadi peristiwa “jual beli” tersebut, yang mana hak milik atas tanah
tetap berada pada ahli waris.
Selain itu, jual
beli tanpa menyertakan sertifikat tanah juga bertentangan dengan persyaratan
dalam proses jual beli tanah.
Langkah Hukum yang Dapat Diambil
Para ahli waris
yang merasa haknya dilanggar karena tanah milik mereka dijual tanpa persetujuan
dari mereka, dapat melakukan gugatan perdata atas dasar perbuatan melawan
hukum, sebagaimana diatur dalam Pasal 1365 KUHPer, yang berbunyi:
Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk
menggantikan kerugian tersebut.
Unsur-unsur
perbuatan melawan hukum dalam Pasal 1365 KUHPer sebagai berikut:
a. Harus ada perbuatan
(positif maupun negatif);
b. Perbuatan itu harus
melawan hukum;
c. Ada kerugian;
d. Ada hubungan sebab akibat
antara perbuatan melawan hukum itu dengan kerugian;
e. Ada kesalahan.
Yang termasuk ke
dalam perbuatan melawan hukum itu sendiri adalah perbuatan-perbuatan yang:
1. Bertentangan dengan
kewajiban hukum si pelaku;
2. Melanggar hak subjektif
orang lain;
3. Melanggar kaidah tata
susila;
4. Bertentangan dengan asas kepatutan
ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam
pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Dalam hal ini,
perbuatan orang yang menjual tanah para ahli waris tanpa persetujuan ahli waris
merupakan perbuatan yang melanggar hak subjektif para ahli waris. Untuk dapat
menggugat penjual tanah tersebut atas dasar perbuatan melawan hukum, Anda harus
dapat membuktikan bahwa orang yang hendak digugat memenuhi semua unsur-unsur
perbuatan melawan hukum sebagaimana disebutkan di atas.
Hal ini didukung
juga dengan adanya Pasal 834 KUHPer, yang memberikan hak kepada
ahli waris untuk memajukan gugatan guna memperjuangkan hak warisnya terhadap
orang-orang yang menguasai seluruh atau sebagian harta peninggalan, baik orang
tersebut menguasai atas dasar hak yang sama atau tanpa dasar sesuatu hak pun
atas harta peninggalan tersebut. Hal ini disebut dengan hereditas
petitio.
Mengenai apakah
Anda dapat menarik kembali hak milik atas tanah yang telah dijual, hal itu
bergantung pada apa yang Anda minta dalam petitum gugatan Anda dan bergantung
pada putusan hakim. Lebih lanjut, mengenai gugatan perdata (termasuk mengenai
petitum.
Pasal 1365 KUHPer
jo. Pasal 834 KUHPer telah memberikan para ahli waris dasar untuk meminta
kembali tanah warisan tersebut. Para ahli waris dapat memajukan gugatan untuk
meminta agar diserahkan kepadanya segala haknya atas harta peninggalan beserta
segala hasil, pendapatan, dan ganti rugi.
Demikian jawaban dari kami, semoga
bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata;
2. Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;
3. Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun
1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah sebagaimana
telah diubah oleh Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2016 tentang
Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 37 Tahun 1998 Tentang Peraturan
Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah;
4. Peraturan Menteri
Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997 tentang
Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah sebagaimana telah diubah oleh Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Nomor 8 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1997
tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang
Pendaftaran Tanah.