Kegiatan ekonomi memerlukan hukum di
dalam pelaksanaannya agar terpelihara dan terjaminnya keteraturan dan
ketertiban, sehingga tidak ada pihak yang dirugikan dan merugikan supaya
keadilan dapat terpenuhi bagi semua pihak. Seperti yang dikemukakan oleh
Kranenburg bahwa keadilan adalah keseimbangan antara hak dan kewajiban (teori ev postulat), begitu pula yang
dikatakan oleh Mochtar Kusumaatmadja bahwa keadilan adalah suatu keadaan yang
mencerminkan nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang bersama-sama dengan
masyarakat. [1]
Pelaksanaan hukum dan keadilan harus dapat berjalan seimbang, seperti pendapat
Jeremy Bentham yang mengatakan bahwa tujuan hukum harus berguna bagi masyarakat
untuk mencapai kebahagiaan sebesar-besarnya.[2]
Keadilan
juga menjadi hal penting yang dikehendaki oleh founding fathers agar tercipta kesejahteraan di Indonesia, seperti
tercermin dalam sila kelima dari Pancasila, bahwa keadilan sosial adalah bagi
seluruh rakyat Indonesia, sehingga dikehendaki adanya kemakmuran yang merata di
antara seluruh rakyat, dan di dalam Pembukaan UUD 1945 antara lain dinyatakan
bahwa, salah satu tujuan negara Republik Indonesia adalah untuk memajukan
kesejahteraan umum. Hal ini tidak terlepas dari pokok-pokok pikiran yang
terkandung dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu[3]:
“Negara
hendak mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat”, sebagaimana dijabarkan
lebih lanjut dalam Pasal 23, 27, 33, dan 34 UUD 1945.
Arti
keadilan sosial di atas mengandung dua makna yaitu sebagai berikut prinsip
pembagian pendapatan yang adil dan prinsip demokrasi ekonomi.[4]. Pasal
33 Ayat (4) UUD 1945 mencantumkan demokrasi ekonomi sebagai cita-cita sosial, sehingga
di dalam pelaksanaan perekonomian nasional harus didasarkan pada demokrasi
ekonomi bahwa siapapun dapat melakukan kegiatan ekonomi. Terwujudnya demokrasi
ekonomi dijalankan atas suatu asas yaitu asas kekeluargaan yang termuat dalam
Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945. Penjelasan Pasal 33 Ayat (1) UUD 1945 mengatakan
bahwa bangun perusahaan yang sesuai dengan asas kekeluargaan adalah koperasi.
Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional 2005-2025 menyatakan koperasi sebagai bagian penting dalam upaya
mewujudkan daya saing bangsa dan untuk meningkatkan pendapatan kelompok
masyarakat berpendapatan rendah. Di samping itu, menurut Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional Tahun 2010-2014 mencantumkan bahwa pemberdayaan
koperasi di Indonesia merupakan salah satu upaya strategis dalam meningkatkan
taraf hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
Pengaturan tentang koperasi terdapat dalam
Undang-undang Nomor 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian (selanjutnya disebut UU
Perkoperasian), dan pada tanggal 30
Oktober 2012 telah diundangkan undang-undang perkoperasian yang baru Nomor 17
tahun 2012 Tentang Perkoperasian. Undang-undang Nomor 17 tahun 2012 lebih rinci
mengatur mengenai kegiatan perkoperasian, seperti adanya aturan lebih lengkap
tentang perubahan anggaran dasar, kewajiban pengurus, modal penyertaan, dan
praktek investasi pada koperasi. Menurut Pasal 1 butir 1, UU Perkoperasian
definisi koperasi adalah:
“Badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum
Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus
sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan”.
UU Perkoperasian merupakan peraturan yang lebih
khusus yang dapat mengesampingkan peraturan yang lebih umum tentang koperasi.
Apabila peraturan atau perjanjian tersebut tidak diatur sendiri, maka
berlakulah ketentuan dari KUH Perdata, hal ini terlihat di dalam KUH Perdata
Bab IX tentang perkumpulan Pasal 1660 yang menyebutkan bahwa:
“Hak-hak
serta kewajiban para anggota perkumpulan diatur menurut peraturan atau
perjanjian perkumpulan itu sendiri, atau menurut surat pendiriannya sendiri”.
Manusia (natuurlijk
persoon) ternyata bukan satu-satunya pendukung hak dan kewajiban di dalam
pergaulan hukum, sebab masih ada lagi pendukung hak dan kewajiban yang
dinamakan badan hukum (rechtpersoon). Chidir
Ali memberi definisi terhadap badan hukum yaitu[5]:
“Segala sesuatu yang berdasarkan tuntutan kebutuhan masyarakat
yang demikian itu oleh hukum diakui sebagai pendukung hak dan kewajiban”.
Badan hukum tidak dapat
melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus dengan perantaraan
organnya yang bertindak atas nama badan hukum. Otto Von Gierke mengemukakan
suatu teori yang dinamakan teori organ, bahwa badan hukum itu adalah suatu
realitas sesungguhnya sama seperti sifat kepribadian alam manusia dalam
pergaulan hukum.[6]
Koperasi
merupakan
salah satu bentuk badan usaha berbadan hukum sebab akta pendiriannya disahkan oleh Menteri
Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah, serta pengesahan tersebut diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia sesuai dengan Pasal 9 UU Perkoperasian.
Berdasarkan bentuk koperasi yang merupakan badan hukum, maka koperasi
merupakan subyek
dalam hubungan hukum yang dapat menjadi pembawa hak dan kewajiban hukum. Badan
hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri,
melainkan harus dengan perantaraan manusia atas nama badan hukum, sehingga koperasi memerlukan organ
dalam kegiatannya.
Pembagian organ koperasi yang tercantum dalam
Pasal 21 UU Perkoperasian terdiri dari:
1. Rapat anggota
2.
Pengurus
3.
Pengawas
Rapat Anggota berhak meminta keterangan dan
pertanggungjawaban dari pengurus dan pengawas mengenai pengelolaan koperasi,
sebab tugas utama pengurus adalah mengelola koperasi dan usahanya, sedangkan
tugas utama pengawas adalah melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan
kebijaksanaan dan pengelolaan koperasi. Pasal 30 Ayat (2) UU Perkoperasian
menguraikan bahwa pengurus mempunyai wewenang untuk :
1. mewakili koperasi di
dalam dan di luar pengadilan
2. memutuskan penerimaan
dan penolakan anggota baru serta pemberhentian anggota sesuai dengan ketentuan
dalam anggaran dasar
3. melakukan tindakan dan upaya bagi kepentingan
dan kemanfaatan koperasi sesuai dengan tanggung jawabnya dan keputusan Rapat
Anggota.
Ketentuan Pasal 16 UU Perkoperasian
menyebutkan bahwa jenis koperasi didasarkan pada kesamaan kegiatan dan
kepentingan ekonomi anggotanya. Berdasarkan pendekatan menurut lapangan usaha
dan atau tempat tinggal para anggotanya terdapat jenis koperasi simpan pinjam.[7]
Koperasi dengan jenis simpan pinjam adalah koperasi yang anggota-anggotanya
terdiri dari orang-orang yang mempunyai kepentingan langsung dalam soal-soal
perkreditan atau simpan pinjam.[8]
Koperasi terdiri
atas dua bentuk seperti yang termuat dalam Pasal 6 UU Perkoperasian, yaitu
koperasi primer dan koperasi sekunder. Koperasi primer, baru dapat
didirikan apabila ada minimal 20 (dua puluh) orang yang secara bersama-sama
mempunyai tujuan untuk mendirikan suatu koperasi, sehingga hubungan antara
berbagai perangkat dalam badan usaha koperasi tersebut menimbulkan suatu
hubungan hukum yang akan terus terjadi selama ada interaksi internal maupun
eksternal. Pengaturan mengenai hubungan hukum tersebut, diawali oleh Kitab
Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yaitu dalam buku II tentang
perikatan. Pasal 1234 KUH Perdata
menyebutkan bahwa :
“Tiap-tiap perikatan
adalah untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat
sesuatu”.
Adapun memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak
berbuat sesuatu dinamakan prestasi. Perikatan yang dilakukan oleh para anggota koperasi
tersebut dituangkan ke dalam anggaran dasar koperasi sebagai dasar formal bagi
persetujuan atau kesepakatan para anggota untuk bekerja sama yang merupakan fondasi
bagi koperasi.[9] Persetujuan tersebut sah apabila syarat dalam Pasal 1320 KUH Perdata
telah terpenuhi, yaitu :
(1). Sepakat
mereka yang mengikatkan dirinya
(2).
Kecakapan untuk membuat suatu perikatan
(3). Suatu
hal tertentu
(4). Suatu
sebab yang halal
Persetujuan
yang telah dibuat tersebut sah berlaku menjadi undang-undang bagi para anggota
dan semua unsur koperasi yang telah membuatnya, dan tidak dapat ditarik kembali
kecuali dengan sepakat oleh kedua belah pihak, serta harus didasarkan pada
itikad baik, sesuai dengan Pasal 1338 KUH Perdata. Persetujuan di dalam sebuah
anggaran dasar membuat hak dan kewajiban masing-masing organ koperasi jelas
serta sebagai tata tertib ke dalam koperasi yang mengikat semua organ koperasi.
Pengelolaan kegiatan koperasi oleh pengurus dalam praktek tidak
selalu sesuai dengan tugas yang diamanatkan oleh undang-undang, sebab mungkin saja
terjadi suatu kelalaian. Kelalaian yang dilakukan oleh pengurus koperasi dapat
menyebabkan adanya wanprestasi. Ketentuan tentang wanprestasi terdapat dalam
Pasal 1238 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa:
“Si
berutang adalah Ialai, apabila ia dengan surat perintah atau dengan akta
sejenis itu telah dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika
ini menetapkan bahwa si berutang harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu
yang ditentukan”.
Apabila yang seharusnya memenuhi suatu prestasi itu lalai dalam
kewajibannya untuk menyerahkan sesuatu, maka sejak saat itu risiko berpindah
kepadanya. Wanprestasi dalam ilmu hukum dapat berupa empat macam yaitu[10]:
1. Sama sekali tidak
memenuhi prestasi
2. Tidak tunai memenuhi
prestasi
3. Terlambat memenuhi
prestasi
4. Keliru memenuhi prestasi
Kelalaian oleh pengurus koperasi dapat berpengaruh
kepada anggotanya, sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi. Berdasarkan
Pasal 1243 KUH Perdata anggota koperasi dapat meminta penggantian biaya, rugi
dan bunga apabila tetap dilalaikannya suatu prestasi padahal sebelumnya telah
diberikan surat peringatan kepada pengurus.
Apabila dalam hal pengurus meninggal dunia, terdapat
dua instrumen hukum pengalihan utang pengurus kepada ahli warisnya, yaitu
dengan hukum waris adat dan hukum waris islam, sebab sistem hukum nasional
Indonesia beragam. Hukum waris islam adalah hukum yang mengatur segala sesuatu
yang berkenaan dengan peralihan hak dan atau kewajiban atas harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia kepada ahli warisnya. [11] Hukum islam bersumber
dari wahyu Ilahi yang pelaksanaannya tidak dapat dipisahkan dari iman
seseorang. Menurut Prof. Soepomo pengertian dari hukum waris adat sebagai
berikut :[12]
“Hukum
adat waris memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan serta
mengoperkan barang-barang harta benda dan barang-barang yang tidak terwujud
benda dari suatu angkatan manusia kepada turunannya”.
Sistem kewarisan adat tergantung pada bentuk
susunan masyarakat tertentu dimana sistem kewarisan itu berlaku, sebab sistem
tersebut dapat ditemukan juga dalam berbagai bentuk susunan masyarakat ataupun
dalam satu bentuk susunan masyarakat dapat pula dijumpai lebih dari satu sistem
kewarisan. Hal penting dalam masalah waris adat ada tiga unsur yaitu:[13]
1. Seorang peninggal
warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan
2. Seorang atau beberapa
orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang ditinggalkan itu
3. Harta warisan atau
harta peninggalan yaitu kekayaan “in concreto” yang ditinggalkan dan
sekali beralih kepada para ahli waris itu.
A.
Metode
Penelitian
Metode yang digunakan Peneliti dalam penelitian ini
adalah sebagai berikut:
[1] Disarikan dari buku Otje Salman, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika
Masalah), PT Refika Aditama, Bandung 2009, hlm 11.
[2] Ibid.,
hlm 10.
[3]Zulkarnain Djamin, Struktur Perekonomian Dan Strategi
Pembangunan Indonesia, Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta 1995, hlm 6.
[5] Chidir Ali, Badan Hukum, Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hlm 21.
[6]
Ali
Rido, Badan Hukum dan Kedudukan Badan
Hukum, Perseroan, Perkumpulan, Koperasi, Yayasan, Wakaf, Penerbit Alumni, Bandung,1981, hlm 16.
[7]
R.T
Sutantya Rahardja Hadhikusuma. Hukum
Koperasi Indonesia, RajaGrafindo Persada, Jakarta, hlm 62.
[10] Riduan Syahrani, Seluk Beluk Asas-asas Hukum
Perdata, Penerbit Alumni, Bandung, 2000, hlm 228.
[11] Mohammad Daud Ali, Hukum Islam Pengantar Ilmu Hukum dan Tata
Hukum Islam di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2007,hlm 313.
[12] Soerojo wignjodipoero, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat, CV
Haji Masagung, Jakarta, 1994, hlm 161.
[13] Ibid.,
hlm 162.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.