Bagaimanakah
menyelasaikan sengketa kepegawaian bagi pegawai yang bekerja pada lembaga
negara dengan status non-PNS seperti KPK, KPPU, mengingat tidak tercakup dalam
definisi buruh maupun PNS? Pengadilan mana yang berhak menanganinya dan memakai
undang-undang apa?
Jawaban :
Sebagaimana
diketahui, bahwa hubungan hukum melakukan pekerjaan dapat
dilakukan melalui beberapa jenis persetujuan-persetujuan atau
perjanjian-perjanjian. Artinya, perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan,
tidak hanya dapat dilakukan melalui hubungan kerja (employment
relation), akan tetapi dapat juga dilakukan melalui
perjanjian-perjanjian di luar hubungan kerja, seperti: perjanjian
melakukan jasa-jasa (overeenkomst tot het verrichten van enkelediensten),
perjanjian pemborongan pekerjaan (aanneming van werk), perjanjian
kemitraan (vennootschap atau partnership), termasuk
perjanjian korporasi (zakelijke relatie atau business
relationship) serta perjanjian pelayanan publik (publiekrechtelijk
verhouding).
Masing-masing
bentuk perjanjian-perjanjian melakukan pekerjaan tersebut
berbeda ketentuan dan peraturan perundang-undangan yang mendasarinya, dan
berbeda syarat-syarat serta konsekuensi hukumnya. Demikian juga, berbeda sifat
dan –substansi– hak-hak serta kewajiban para pihak secara bertimbal-balik. Dan
apabila terjadi dispute di antara para pihak, berbeda pula
ketentuan dan mekanisme penyelesaian perselisihannya (case by case).
Terkait
dengan itu, hubungan hukum antara seorang pegawai dengan instansi atau
lembaga negara (seperti: Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK atau Komisi Pengawas
Persaingan Usaha/KPPU) sebagai pemberi kerjanya (termasuk pegawai
dengan status non-PNS), lazimnya dikategorikan sebagai hubungan hukum
yang didasarkan pada perjanjian pelayanan publik (publiekrechtelijk verhouding).
Bagi
hubungan hukum pelayanan publik, sejak awal dalam Pasal 1603 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata / KUH
Perdata (BW) memang telah mengesampingkan pemberlakuan Bab
Ketujuh-A Buku Kedua KUH Perdata, khususnya bagi pejabat
Negara, pejabat Daerah atau bagian Daerah, Kota-praja (cq. Pemerintah
Kabupaten/Kota) serta badan-badan yang menyelenggarakan perairan atau badan-badan
lainnya, kecuali (sebaliknya) telah diperjanjikan atau dinyatakan berlaku.
Sebagai
contoh, hubungan hukum antara seorang pegawai (status non-PNS) dengan -lembaga-
KPK, diatur (secara umum) dalam Undang-Undang KPK, yakni UU No. 30 Tahun 2002, khususnya Pasal
24 ayat (2) dan ayat (3) jo Pasal 21 ayat (1) huruf c dan Pasal 8
ayat (1) dan ayat (2) jo Pasal 3 PP No. 63 Tahun 2005 tentang Sistem Manajemen
SDM KPK (“PP 63/2005”), yang menyebutkan bahwa Pegawai
KPK adalah warga negara Indonesia yang karena keahliannya diangkat sebagai
pegawai pada KPK dengan persyaratan dan tata cara
pengangkatan yang diatur lebih lanjut dengan Keputusan KPK.
Lebih
lanjut diatur bahwa pegawai KPK tersebut terdiri atas Pegawai Tetap, Pegawai
Negeri yang dipekerjakan dan Pegawai Tidak Tetap (Pasal
3, Pasal 5 dan Pasal 8 PP 63/2005).
- Pegawai
Tetap adalah pegawai yang memenuhi syarat yang diangkat oleh Pimpinan
KPK melalui pengadaan pegawai untuk menjadi pegawai KPK.
- Pegawai
Negeri adalah pegawai yang memenuhi syarat yang ditentukan untuk dipekerjakan
sebagai pegawai KPK dengan masa penugasan maksimal 4 (empat) tahun.
- Sedangkan Pegawai
Tidak Tetap KPK adalah pegawai yang memenuhi syarat dan
terikat dalam perjanjian kerja untuk waktu tertentu (“PK”)
sesuai Peraturan KPK (Pasal 3 PP 63/2005). Berakhirnya atau perpanjangan
jangka waktu PK (bagi Pegawai Tidak Tetap) dimaksud, dilakukan oleh
KPK berdasarkan hasil evaluasi kinerja pelaksanaan PK periode sebelumnya sesuai
kebutuhan KPK (Pasal 8 ayat [1] dan ayat [2] PP 63/2005).
Demikian
juga, hubungan hukum antara seorang pegawai non-PNS dengan KPPU,
diatur (secara umum) dengan peraturan perundang-undangan tersendiri,
yakni Keputusan Presiden No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi
Pengawasan Persaingan Usaha sebagaimana telah diubah dengan
Keppres Nomor 80 Tahun 2008, yang kemudian lebih rinci
(diamanatkan) diatur dalam Keputusan KPPU No. 161/Kep/KPPU/XI/2006
tentang Pokok-pokok Kepegawaian jo Keputusan KPPU Nomor
97/Kep/KPPU/XII/2003 tentang Tata-tertib dan Pembinaan Disiplin Pegawai KPPU.
Selain itu (sebagai contoh lain), untuk pegawai (non-PNS)
lainnya, juga diatur secara tersendiri (antara lain) oleh
Kementerian Luar Negeri, yakni Peraturan Menteri Luar Negeri RI
No.07/A/KP/x/2006/01 Tahun 2006 tentang Pedoman dan Tata Cara Pengangkatan,
Pemberhentian dan Pembuatan Kontrak KerjaPegawai Setempat (Local
Staff) Pada Perwakilan RI Di Luar Negeri.
Dengan
demikian, penyelesaian sengketa kepegawaian, khususnya bagi pegawai
non-PNS yang bekerja di (setiap) lembaga Negara (seperti di KPK atau KPPU),
ditentukan oleh aturan hubungan hukumnya masing-masing lembaga yang
bersangkutan. Artinya, setiap membentuk suatu lembaga Negara semacam KPK
atau KPPU, masing-masing lembaga tersebut mengatur secara khusus hubungan hukum
pegawainya. Termasuk
mengatur bagaimana –mekanisme– penyelesaian persengketaan mereka
jika terjadi perselisihandiantara para pihak. Mereka tidak tunduk pada UU
Kepegawaian (UU No. 8 Tahun 1974 sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian) karena bukan
Pegawai Negeri dan juga tidak tunduk pada UU Ketenagakerjaan karena
bukan (murni) pegawai swasta. Walaupun ada beberapa persamaan susbstansi.
Namun
demikian, menurut hemat kami, apabila sama sekali tidak ada pengaturannya bagi
pegawai non-PNS di lembaga Negara tersebut, dan jika menyimak
ketentuan Pasal 1 angka 4 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU
Ketenagakerjaan”), bisa saja (bagi pegawai non-PNS dimaksud)
mendasarkan pada ketentuan UU Ketenagakerjaan.
Oleh
karena itu, pada bagian akhir opini dan penjelasan ini, kami
sarankan agar sebagai aparat pelayanan publik (aambtenaar)
di lembaga-lembaga pemerintah (seperti KPK atau KPPU) tersebut, hendaknya
mengatur sendiri beberapa klausul dalam “perjanjian kerja”nya guna
mengantisipasi permasalahan yang mungkin akan timbul, terutama klausul mengenai
pilihan hukum (applicable law) dan ketentuan penyelesaian sengketa (dispute
settlement clause). Bahkan jika dipandang perlu, sebaiknya diatur mengenai
penyelesaian dispute secara bipartit (mutual agreement)
dalam bentuk an amicable dispute settlement clause yang
berakhir hanya sampai di situ (bipartit) saja, dalam arti final and
binding.
Demikian opini dan penjelasan
kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
2. Undang-Undang No. 8 Tahun 1974 sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 43 Tahun 1999 tentang Kepegawaian.
6. Keputusan
Presiden RI No. 75 Tahun 1999 tentang Komisi Pengawas Persaingan Usaha
sebagaimana telah diubah dengan Keppres Nomor 88 Tahun 2008.
7. Keputusan
KPPU No. 97/Kep/KPPU/XII/2003 tentang Tata-tertib dan Pembinaan Disiplin
Pegawai KPPU.
8. Keputusan
KPPU Nomor 161/Kep/KPPU/XI/2006 tentang Pokok-pokok Kepegawaian.
9. Peraturan
Menteri Luar Negeri RI No.07/A/KP/X/2006/01 Tahun 2006 tentang Pedoman dan Tata
Cara Pengangkatan, Pemberhentian dan Pembuatan Kontrak Kerja Pegawai
Setempat (Local Staff) Pada Perwakilan RI Di Luar Negeri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.