Namun, alangkah naifnya jika suatu hubungan bilateral seperti MoU ekstradisi yang akan disepakati harus berakhir dengan sia-sia. Karena itu, bagaimana sebaiknya kebijakan pemerintah Singapura yang cenderung kurang responsif mestinya harus menjadi pelajaran berharga bagi pemerintah
Ekstradisi Mudah Disimpangi
Dalam hukum internasional, ekstradisi merupakan bentuk penyerahan seorang tersangka atau penjahat secara formal oleh suatu negara terhadap negara pemohon untuk diadili di negaranya (Extradition is the Formal Surrender of Person by a State for Prosecution or Punishment). Karena itu, tidaklah sukar bagi pemerintah
Meskipun alasan yuridis penolakan telah jelas diatur, pelanggaran tetap saja timbul. Misalnya, sejak 22 April 1992, pemerintah
Mengapa dalam praktek perjanjian ekstradisi bukan saja sulit diterapkan, tapi sangat mudah disimpangi? Pertama, ekstradisi merupakan perjanjian bilateral yang tidak secara langsung menimbulkan kewajiban internasional sebagaimana peraturan kebiasaan internasional. Kedua, efektifitas perjanjian ekstradisi sangat tergantung pada subyek terkait dengan prinsip-prinsip umum. Misalnya, apakah kejahatan yang serupa tergolong perbuatan yang dapat dihukum oleh kedua negara (that of double criminality). Ketiga, orang-orang yang dapat diserahterimakan untuk diadili harus memperoleh jaminan kedua negara. (Malcolm N Shaw. International Law ;1997:482).
Ketiga alasan teoritis tersebut telah membuka tabir dibalik sikap pemerintah Singapura yang tidak kooperatif. Bahwa perjanjian bilateral, termasuk MoU extradisi bukan merupakan kesepakatan internasional yang mengikat dan bahkan dapat disimpangi. Mengingat perjanjian ekstradisi tidak tergolong kesepakan internasional yang bersifat Law Making Ttreaty (perjanjian membuat hukum), yang dapat dipaksakan secara internasional. Sehingga, bilamana terjadi pelanggaran tidak ada sanksi yang dapat diterapkan. Karena itu, bilamana pemerintahan Singapura menolak penyerahan koruptor setelah menandatangai MoU dapat dimaklumi. Sebab, dengan menyimpangi kesepakatan pemerintah Singapura dapat terbebas sanksi internasional dan hukum internasional.
Alasan lain yang memungkinkan Singapura mengingkari, terletak pada subyek perjanjian ekstradisi akibat adanya ketidak-sebandingan pelaku kejahatan kedua negara. Boleh jadi mencari seorang koruptor Singapura yang berada di
Perluasan Yurisdikasi Pengadilan Nasional
Ketika perjanjian ekstradisi dipandang bukan merupakan instrumen hukum yang kuat bagi pemberantasan korupsi. Perluasan yurisdiksi pengadilan nasional sangat diperlukan. Suatu kebijakan hukum yang meniscayakan pentingnya harmonisasi antara sistem hukum internasional, termasuk hukum pidana internasional dengan pengadilan nasional. Korupsi yang semula merupakan kewenangan pengadilan nasional suatu negara. Saat ini justru pemerintah
Dengan menerima perluasan fungsi pengadilan suatu negara, MoU ekstradisi akan menjadi lebih efektif, setelah meningkatnya kesadaran negara terhadap hukum internasional. Perluasan yurisdiksi pengadilan nasional tersebut dapat ditempuh dengan melakukan ratifikasi terhadap dua konvensi internasional. Pertama, kedua negara perlu meratifikasi The Viena Convention Against Corruption 1 Oktober 2003, yang telah diadopsi oleh 107 negara. Hal ini sangat penting oleh karena paradigma UU korupsi suatu negara harus memuat prinsip-prinsip universal. Pemerintah dan DPR kedua negara harus mengamandemen UU tentang korupsi, dan menempatkan korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan dan musuh umat manusia (Common enemy of Humanity). Selain itu, DPR dan pemerintah kedua negara juga wajib menerima asas yurisdiksi universal yang membolehkan koruptor-koruptor
Dengan cara internasionalisasi kejahatan korupsi, negara-negara penyimpan koruptor dapat dipaksakan melalui kekuatan negara-negara luar. Antonio Cassese (International Criminal Law 2003 : 16) menegaskan bahwa kejahatan internasional, termasuk upaya yang memaksa suatu negara melakukan ekstadisi sangat tergantung pada yurisdiksi peradilan suatu negara dalam konteks kejahatan yang dirumuskan dalam hukum internasional. Sehingga peran pengadilan nasional terhadap kejahatan internasional akan jauh lebih efektif bilamana penegakkan hukum pidana internasional juga merupakan kebijakan nasional.
Kedua, kedua negara menjadi penting untuk meratifikasi Statuta Roma 1998 agar celah perjanjian ekstradisi untuk disimpangi semakin sempit. Keterpisahan antara hukum internasional dengan pengadilan nasional akan berakhir dan oleh karenanya kasus-kasus korupsi yang diselesaikan dengan perjanjian ekstradisi akan menjadi efektif. Beberapa orang yang diduga terlibat koruptor, seperti Edy Tansil, Sudjono Timan, Paulina Lumowa, Samadikun Hartono yang tingggal di Singapura, yang saat ini tidak tersentuh oleh hukum (untrachable by law) akan berangsur-angsur mengikat. Terutama ketika pemerintah Singapura mengadopsi Konvensi Internasional yang relevan.
Pilihan yang dibuat pemerintah
Singkat kata, perjanjian extradisi memang diperlukan bagi pemerintah
Direktur Centre for Local Law Development Studies (CLDS) FH UII dan Dosen FH UII Yogyakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.